Selasa, 13 Oktober 2015

CERPEN


Penyesalan Masa Lalu

 

Perkenalkan, namaku Delaney Aidan Alastair. Panggil aku Dela. Aku memiliki adik yang berbeda dua tahun dariku. Dia Galvin Aidan Alastair. Aku bersekolah di Bogor International School atau disingkat menjadi Boins. Hidupku saat ini berbeda dari lima bulan yang lalu. Dahulu aku adalah anak yang mudah bergaul, ramah, dan dibanggakan. Namun sekarang aku berubah. Aku hanya memiliki satu sahabat. Dia Agatha Luna Reagan. Dia yang selalu ada di dekatku sejak kelas 1 SD.

Delaney yang sekarang adalah Delaney yang bandel, dingin, dan cuek. Tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Selalu bertengkar dengan ayahku dan anak laki-laki di sekolah. Dan saat ini, aku sedang bertengkar dengan ayah karena aku pulang larut malam di malam minggu akibat nongkrong di cafe Doodley dengan Luna. Ini sering terjadi sejak bunda pergi. Ayahku semakin kacau dan melarangku ini itu.

“Dela! Siapa yang mengajarkanmu seperti itu hah?! Apa yang kamu mau, Dela?” Teriak ayah.

Aku mendengus kasar. “Apa yang saya mau? Kembalikan bunda   saya!” Kataku dengan penuh penekanan.

PLAK!

Satu tamparan mendarat di pipi kananku. Perih. Itu yang kurasakan saat ditampar oleh ayahku. Inilah keseharian kami saat ibunda sudah tiada lima bulan yang lalu. Ini semua salah ayah! Tak seharusnya dia pergi disaat bunda sedang kacau karena melihat ayahku sedang bersama wanita lain. Ayah pergi dari rumah dan pulang saat bunda sudah tiada. Aku dan adikku hanya bisa menangis melihat bunda kami yang berdarah disekitar kepala dan tubuh lainnya.

~Flash back~

Aku dan Galvin sedang berpelukan satu sama lain di kamarku karena mendengar kekacauan dari lantai bawah untuk yang pertama kalinya. Sebelum semua ini terjadi, ayah dan bunda belum pernah bertengkar hebat seperti saat ini. Suara beling pecah terdengar di telinga kami. Galvin semakin mempererat pelukan kami akibat suara pecahan beling itu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara mobil menjauh. Galvin melepas pelukannya dan menatapku dengan mata sembab.

“Kak, apa ayah dan bunda baik-baik saja?” Tanya nya. Sungguh, aku tak tega melihatnya seperti ini.

“Semua akan baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, Galvin. Kakak akan melindungimu. Ayo kita ke lantai bawah.” Kataku.

Aku dan Galvin berjalan ke lantai bawah dengan perlahan. Suasana di lantai bawah sangat berantakan. Beling tersebar dimana-mana, ada darah yang ku tebak dari tubuh bunda. Tapi, dimana bunda? Aku menyuruh Galvin berhati hati untuk membereskan beling-beling itu. Sementara aku, mencari bunda. Sudah ku periksa kamar bunda dan ayah, kamar mandi, dapur, dan halaman belakang. Namun hasilnya nihil.

Baru saja aku menginjakkan kaki di teras, aku melihat pemandangan mengerikan. Seorang wanita yang terkapar di jalanan dengan keadaan banyak darah. Wanita itu adalah bunda. Aku terkejut dan langsung menghampiri bundaku.

“Bundaa.. Bangun bundaa..”

Aku menangis memanggil nama bunda. Namun bunda tetap diam dan matanya tetap terpejam erat. Galvin datang dan menangis dihadapanku.

“Kakak, ayo bawa bunda ke rumah sakit sekarang.” Kata Galvin.

Aku langsung menuju ke garasi dan menyalakan mobil milikku kemudian mengeluarkannya dari garasi. Galvin menggendong bunda dan menaruh bunda di jok belakang. Galvin duduk di jok depan dan kami langsung mengebut menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya disana, kami langsung membawa bunda ke ruang UGD dibantu oleh para suster.

Kami terduduk di kursi tunggu sambil memanjatkan doa kepada Allah agar bunda kami selamat. Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah menyesal. Aku dan Galvin berdiri menatap sang dokter harap-harap cemas.

“Apa kalian keluarga dari pasien ini?” Tanya sang dokter.

“Ya, kami anaknya. Apakah bunda selamat?” Tanyaku.

Sang dokter menggeleng menyesal. “Maaf, nak. Bunda kalian tidak bisa kami selamatkan. Kami sudah berusaha semampu kami, namun bunda kalian tetap pergi. Luka benturan di kepalanya sangat fatal dan mengakibatkan kematian ini. Sekali lagi maaf, saya permisi dulu.” Kata sang dokter.

Aku dan Galvin menangis. Bunda kami sudah pergi. Kami tak punya bunda lagi. Kami berbalik dan ingin pulang ke rumah. Namun, langkah kami terhenti karena seorang pria tegap berdiri tak jauh dari kami. Dia ayah kami. Ayah yang jahat, meninggalkan bunda. Dan menyebabkan bunda pergi untuk selamanya.

“Dimana bunda? Apa dia baik-baik saja?” Tanya ayah.

Aku menatap ayah tajam penuh amarah. Begitu juga dengan Galvin. Aku menggenggam tangan Galvin agar kami tidak bermain fisik di rumah sakit.

“Setelah ayah berbuat semua kekacauan ini, ayah bilang bunda baik-baik saja? Apakah ayah sadar, yang menyebabkan bunda mati adalah ayah! Darimana saja ayah? Baru datang setelah bunda pergi? Apakah anda ayah yang baik? Bukan. Anda bukan ayah yang baik. Anda bukan ayah kami. Anda penjahat. Silahkan urus bunda saya. Kami permisi dulu.” Kataku.

“Maafkan ayah. Ayah khilaf, nak. Tolong maafkan ayah. Ayah tak akan ulangi perbuatan ayah lagi.” Kata ayah sambil menangis dihadapan kami dan memegang pundak kami.

Kami menepis tangan ayah. “Percuma saja. Anda tidak akan pernah bisa mengembalikan bunda kami. Anda tidak akan pernah bisa membuat bunda kami hidup lagi.” Kata Galvin.

Aku dan Galvin pergi meninggalkan ayah yang sedang kacau. Kami tak menghiraukan teriakan ayah yang memanggil nama bunda.

~Flash Back~

Aku melangkahkan kaki ku ke lantai atas menuju kamarku. Saat sudah sampai kamarku, aku merebahkan tubuhku di kasur yang empuk dan menatap langit-langit kamar yang dipenuhi oleh sticker glow in the dark berbentuk planet dan bintang. Aku memejamkan mataku sejenak sebelum suara ketukan yang membuatku membuka mataku lagi.

“Kak, Galvin boleh masuk?” Tanya Galvin.

“Ya.” Jawabku singkat.

Galvin masuk ke dalam kamarku dan duduk di pinggir kasur menatapku iba.

“Kakak dimarahin lagi? Kakak gak capek apa buat masalah terus? Kakak udah kelas 2 SMA. Lupain masa lalu kakak. Bunda udah tenang dan gak mau kakak berlarut-larut dalam masalah yang lalu.”

“Terkadang, kamu benar. Tapi kematian bunda adalah luka terdalam bagi kakak. Kakak gak bisa lupain masalah itu dek.” Kataku.

“Oke, terserah kakak mau gimana. Aku gak bisa ngelarang kakak terus. Tapi kakak harus inget, kakak masih punya Galvin dan ayah. Jangan dendam terlalu lama.” Kata Galvin.

“Iya, Galvin. Makasih udah nasehatin kakak. Kakak berasa jadi adek disini.” Kataku sambil terkekeh.

“Oh iya. Kak, besok kita akan punya tetangga baru. Dia pindahan dari Jerman kata ayah. Dan katanya dia bakal satu SMA sama kakak.” Kata Galvin sambil tersenyum.

“Dia tetangga baru kita? Dimana rumahnya? Dan.. Apa?! Dia satu SMA sama kakak?! Oh tidak! Dia pasti akan duduk disebelah kakak.” Kataku.

“Yaa.. Rumah dia tepat diseberang kita. Jadi kalau kakak ke balkon, kakak bisa liat rumah dia. Aku harap kakak bisa berubah jika berteman dengannya. Toh apa salahnya? Dari namanya saja sudah ketahuan kalau dia anak yang baik.” Jelas Galvin.

“Baiklah. Kakak mau tidur. Selamat malam.” Kataku lalu mencium keningnya.

“Selamat malam juga kakak.” Katanya kemudian berjalan keluar kamarku.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Kakak! Bangun! Ayo kita olahraga!” Teriak Galvin sambil menggedor-gedor pintu kamarku.

“Iyaa.. Sebentar dek. Kakak udah bangun nih. Kakak siap-siap dulu.” Kataku sambil merapihkan tempat tidur dan bersiap-siap untuk berolahraga.

Inilah rutinitasku dan Galvin setiap hari minggu. Kami akan berolahraga dan membeli makanan untuk sarapan dirumah. Ya.. walaupun sejujurnya aku enggan sarapan dirumah, namun apa boleh buat kalau Galvin yang memaksa? Dia tak akan pernah mau membantuku lagi jika aku tak mau sarapan bersama di rumah.

Setelah semua beres, kami turun ke lantai satu dan bergegas pergi sebelum matahari muncul. Baru saja keluar gerbang, kami melihat ada laki-laki berbadan tegap dan bertubuh six pack muncul dari dalam rumah seberang. Dia memakai sepatunya lalu merenggangkan otot-otot nya. Dia tampan!

“Kak! Ayo! Eh ada tetangga baru. Nama lo siapa kak?” Tanya Galvin. Ku akui dia cepat sekali berbaur dengan anak baru.

“Gue Darian Argento Hayden. Panggil Gue Darian atau Rian aja. Jangan pake ‘kak’. Dan kalian?” Kata laki-laki itu yang kukenal dengan Rian.

“Gue Galvin Aidan Alastair, dan ini kakak gue Delaney Aidan Alastair. Lo bisa manggil gue Galvin dan kakak gue Dela.” Jelas Galvin. Aku hanya tersenyum kecil. “Oiya, lo mau olahraga bareng kita gak? Kita mau jogging trus ke cafe buat beli sarapan.”

“Hmm.. Boleh deh. Biar gue ada temen juga.” Kata Rian.

Akhirnya aku, Galvin dan Darian jogging bersama. Galvin dan Darian bersisian sedangkan aku dibelakang mereka. Aku terlihat seperti jones. Kasihan sekali aku.. Tapi biarkanlah. Aku benci jika ada yang mengganggu rutinitasku. Aku memasang earphone dan menyetel lagu Worth It yang dinyanyikan oleh Fifth Harmony. Saat sedang asik mendengarkan lagu, seseorang menepuk bahuku lumayan kencang. Aku menengok ke arah kanan dan melihat Rian si pemilik tangan yang menepuk bahuku lumayan keras.

“Kenapa lo diem aja? Bete?” Tanya nya. Aku hanya menggeleng. “Btw, lo sekolah dimana?”

Oh Ya Allah.. Ini orang kepo sekali. “Boins.” Jawabku singkat. Kulihat matanya berbinar. Senyumnya muncul akibat rasa senangnya.

“Wah! Satu sekolah ama gue dong! Akhirnya, gue ada temennya. Kalo gitu, besok pagi lo berangkat sama gue aja.” Katanya.

“Gak. Makasih. Gue bareng Galvin”

“Yaelah.. Kan gue gatau Boins dimana.. Lo bareng gue aja ya?”

“Lo aja yang bareng gue. Tapi, cuma sekali.”

“Yaudah. Gapapa deh. Yang penting bisa sama lo.” Katanya sambil tersenyum.

Ya Allah.. Kukira dia cool dan cuek. Ternyata ramah dan berisik. Gimana jadinya aku bisa tenang kalau dia jadi teman sebangkuku? Sepertinya aku harus mendengarkan lagu agar dia tak menggangguku.

Kami sampai di cafe Doodley untuk membeli sarapan. Saat kami masuk, aroma kopi dan makanan lezat menggodaku. Aku sudah tidak sabar untuk sampai di rumah dan memakan makanan Doodley. Makanan disini sangat enak. Selan makanannya enak, disainnya membuat semua orang merasa nyaman. Ada satu rak berisi buku-buku yang asik. Disini juga ada Wifi yang kencang. Makanya aku dan Luna betah untuk berlama lama disini.

“Selamat datang mba Dela dan mas Galvin. Mau pesan apa? Dibawa pulang?” Tanya salah satu pelayan cafe yang bernama Rani. Aku, Galvin dan Luna sudah mengenal satu sama lain dengan pegawainya. Karena kami sering datang ke cafe ini.

“Seperti biasa ya mba.. Saya beli 4 porsi. Dibawa pulang.” Kata Galvin.

Kami duduk di tempat yang biasa kami duduki. Meja pojok jendela. Dari sini terlihat pemandangan yang lumayan indah.

“Kalian udah biasa mesen disini ya?” Tanya Rian.

“Gausah banyak tanya.” Kataku.

“Oke.. By the way, lo suka main ps atau basket gak Gal?”

“Gue suka keduanya. Tapi lebih suka basket. Kenapa? Lo mau battle sama gue, Yan?”

“Pengennya sih battle sama Dela juga. Tapi ntar dia gamau lagi.”

“Lawan Galvin dulu. Baru gue.” Kataku.

“Tuh, kak Dela mau. Tapi kita harus one by one.” Kata Galvin.

Kulihat Darian ingin membalas perkataan Galvin, namun di interupsi oleh mba Rani yang membawa pesanan kami. Galvin membayar nya dengan uang lima puluh ribu.

“Ini mba Dela, mas Galvin pesanannya. Terima kasih. Selamat datang kembali.” Kata mba Rani sopan.

“Makasih mba.” Kata Galvin sambil tersenyum.

Kami pun keluar dari cafe Doodley dan berjalan ke rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 06.55. Kami harus segera sampai di rumah sebelum ayah bangun dan sarapan bersama. Setelah sampai di depan rumah, Darian berpamitan dengan kami kemudian masuk ke rumah masing-masing. Setelah melepas sepatu bersama kaus kaki, kami melangkah ke kamar masing-masing dan berganti baju.

Setelah semua beres, kami menyiapkan sarapan dan menunggu ayah di meja makan. Tepat jam dinding yang berada di dekat meja makan berdenting menandakan tepat jam 7 pagi, ayah keluar dari kamar dengan menggunakan piyama. Ayah duduk di kursi paling ujung, diantara aku dan Galvin. Sedangkan aku, duduk berhadapan dengan Galvin.

“Pagi, Del, Gal.” Sapa ayah.

“Pagi” Jawab kami secara bersamaan.

“Oiya, tetangga depan sudah sampai? Kalian sudah berkenalan dengan anaknya?”

“Sudah, yah. Tadi kami juga olahraga bersama. Dia anak yang asik dan ramah, Yah! Namanya Darian Argento Hayden. Panggilannya Darian atau Rian. Dia satu sekolah sama kak Dela loh!” Kata Galvin.

“Oh ya? Bagus dong. Jadi Dela ada temennya. Besok pagi kamu berangkat sama dia ya Del?” Tanya Ayah.

Aku hanya bergumam sebagai jawabannya. Setelah itu, terjadi keheningan yang cukup lama sampai akhirnya aku selesai makan dan pergi ke kamar untuk mengecek sosmed di handphoneku

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tok! Tok! Tok!

“Masuk” Kataku.

“Dela, ayah ingin berbicara denganmu” Kata ayah.

“Apa yang ingin anda bicarakan?” Kataku sambil berbalik menghadap ayah.

“Dela, tolong kamu jangan seperti ini terus. Apa yang kamu inginkan tidak bisa kita raih lagi. Apa yang sudah berlalu biarkan berlalu, Dela. Ayah minta maaf. Ayah menyesal, ayah kacau kehilangan seseorang yang aya cintai. Begitupun kamu, Dela.” Jelas ayah.

Jujur saja, apa yang ayah bicarakan memang benar. Namun, ego ku terlalu tinggi untuk memaafkannya.

“Lalu apa yang anda mau?” Tanyaku.

“Ayah hanya ingin keluarga kita utuh seperti sebelumnya. Walaupun bundamu telah tiada, tetapi dia tetap berada bersama kita.”

“Mengapa anda baru menyesali perbuatan anda selama ini?”

“Dela, apakah kamu tidak sadar kalau selama ini kita semua menyesali perbuatan masing-masing dan terpuruk dalam kematian bundamu?” Tanya ayah dengan wajah memelas.

“Aku tak peduli.” Jawabku angkuh.

“Dela, berdamailah dengan masa lalu. Mau sampai kapan keluarga kita hancur? Apa kamu tidak kasihan dengan bunda yang bisa melihat kita semua saat ini?”

“Biarkan bunda melihat semua penyesalan anda. Sekarang, silahkan anda keluar dari kamar saya.”

Ayah keluar dari kamarku dengan kepala menunduk. Beberapa detik kemudian, Galvin masuk dengan muka memerah menahan amarah.

“Kakak! Apa yang kakak lakukan kepada ayah?! Selama ini ayah selalu peduli kepada kakak! Tapi apa yang kakak lakukan? Membuatnya semakin terpuruk dari sebelumnya!” Kata Galvin.

“Kamu tidak boleh ikut campur.” Kataku sinis.

“Jelas aku harus ikut campur! Selama ini aku yang berada diantara kalian. Mencoba mengerti satu sama lain. Kakak seharusnya mengerti!”

“Mengerti kamu bilang? Apa kamu tidak marah atas kelakuan dia hah?! Dia selalu bilang menyesal kepada kakak. Tapi dia juga selalu menyiksa kakak! Apa itu yang namanya menyesal hah?!”

“Tapi bukan begitu caranya, kakak! Apa kakak gak bisa ngerelain bunda hah?! Bunda udah tenang disana!” Kata Galvin penuh amarah. Detik berikutnya Galvin menghela nafas dan mengusap-usap mukanya frustasi. “Maaf Galvin kelepasan. Galvin cuma mau kakak damai sama ayah. Galvin juga mau yang terbaik buat kakak. Galvin tau kakak pengen punya keluarga yang lengkap. Tapi semua udah terjadi. Gak bisa kita kembali lagi ke masa lalu, kak.”

“Kakak memang ingin itu. Tapi itu bukan jalan yang terbaik bagi kakak. Ada saatnya kakak memaafkan ayah, tapi bukan sekarang waktunya. Kakak pergi dulu.” Kataku sambil memakai jaket kulit berwarna hitam.

Aku keluar dari kamar dan menghela nafas pelan. Apa yang dikatakan Galvin memang benar. Tapi bukan berarti aku bisa memaafkan ayah secepat itu. Aku butuh waktu untuk memaafkannya.

Aku bergegas keluar dari rumah dan menelfon Luna. Dering pertama dan kedua tak ada jawaban. Pada dering ke tiga, telfon diangkat.

“Halo, Lun.”

“Halo. Kenapa Del?”

“Ke cafe biasa. Ada yang mau gue omongin.” Aku menutup telfon dan bergegas pergi ke cafe.

 

~To Be Continue~

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar