Kamis, 18 Juni 2015

Kasus Sengketa Ekonomi Syariah


Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah melalui ARBITRASE

 

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )

Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan merekaLembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. 

Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga yang melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila di kemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law). Dasar hukum pemberlakuan arbitrase  dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor  30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang  terjadi dalam lalu lintas  perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari’ah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.

Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak  yang dilaksanakannya. Dalam kaitan ini, Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat dunia juga telah memiliki lembaga arbitrase dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat dengan BANI. Keberadaan BANI ini diprakarsai oleh kalangan bisnis nasional yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang  didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Adapun tujuan didirikannya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang  adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul dan berkaitan dengan perdagangan dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Di samping itu, keberadaan BANI di samping berfungsi menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para  pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Oleh karena BANI dibentuk untuk  kepentingan masyarakat Indonesia, maka BANI harus tunduk kepada hukum Indonesia. Selama ini praktek arbitrase banyak diatur dalam HIR, khususnya  pasal 377 HIR yang menyebutkan bahwa arbitrase dibenarkan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak dengan tetap berpedoman sebagaimana tersebut dalam buku ketiga Rv, dengan hal ini dapat diketahui bahwa secara yuridis formal hanya Rv yang diakui sebagai hukum positif arbitrase, dan tertutup kemungkinan untuk memilih dan mempergunakan institusi atau peraturan yang terdapat dalam Rv. Namun keberadaan BANI telah menerobos  sifat tertutup Rv tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan lain, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang meratifikasi ICSID dan KEPRES Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi New York Convention 1059, sehingga ketentuan yang menentukan Rv sebagai satu-satunya aturan hukum yang mengatur arbitrase sudah dipakai lagi. Dengan demikian sejak berdirinya BANI dibolehkan mendirikan institusi arbitrase permanent yang dilengkapi  oleh aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR atau hak opsi mempergunakan aturan Rv atau aturan lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ADR yang lain, tujuan didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang adil dan tepat dalam sengketa-sengketa perdata yang berkaitan dengan perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat  nasional maupun internasional. Selain dari itu, keberadaan BANI di samping  menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Meskipun ada perbedaan yang cukup  signifikan dengan tugas-tugas pengadilan, tetapi proses ajudikasi BANI tetap berpedoman kepada peraturan prosedur secara khusus. Secara garis besar prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :

1) Prosedur arbitrase dimulai dengan  didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase dan didaftar dalam register perkara masuk.

2) Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase,  maka klausula tersebut dianggap telah mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI segera mengeluarkan perintah untuk menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada si termohon, disertai perintah untuk menanggapi permohonan  tersebut dan memberi jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari.

3) Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter tunggal yang ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa sengketa antara para pihak atas nama BANI dan menyelesaikan serta memutus sengketa.

4) Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan surat kuasa khusus.

5) Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa.

6) Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan masing-masing pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk menguatkannya.

7) Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut permohonannya.

8) Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan sudah cukup, maka ketua majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan menetapkan hari sidang selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.

9) Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu  putusan arbitrase ditetapkan dengan peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri yang bersengketa. Meskipun sudah ada putusan arbitrase yang telah diputus oleh BANI, kebanyakan para pihak tidak puas terhadap putusan tersebut. Hal ini dapat diketahui bahwa sebagian besar perkara  yang telah diputus oleh arbiter BANI masih tetap diajukan kepada Pengadilan secara litigasi.

2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

Perkembangan bisnis umat Islam berdasar syari’ah semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi  dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai berdirinya BAMUI dan mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Oktober 1993. Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah pertama : memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang  mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk menjadi arbiter tunggal atau arbiter majelis diantaranya adalah beragama Islam yang  taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam menjalankan tugasnya arbiter harus mengupayakan perdamaian semaksimal mungkin dan apabila usaha ini berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan memenuhi perdamaian tersebut. Jika perdamaian tidak berhasil, maka arbiter akan meneruskan pemeriksaannya, dengan cara  para pihak membuktikan dalil-dalil gugatannya, mengajukan saksi-saksi atau mendengar pendapat para ahli dan sebelum mengajukan keterangannya ia harus disumpah terlebih dahulu. Azas pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan azas ini tidak bersifat mutlak atau permanen, akan tetapi dapat dikesampingkan jika atas persetujuan kedua belah pihak setuju sidang dilaksanakan terbuka untuk umum. Kepentingan pemeriksaan secara tertutup ini adalah menghindari publisitas demi menjaga nama baik perusahaan atau bisnis masing-masing para pihak.

Putusan BAMUI bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan wajib mentaati keputusan tersebut, para pihak harus segera mentaati dan memenuhi pelaksanaannya. Apabila ada para pihak yang tidak melaksanakan itu secara suka rela, maka putusan itu dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 637 dan 639 Rv, yakni Pengadilan Negeri memiliki peranan yang penting dalam memberikan exequatur bagi putusan arbitrase. Oleh karena itu, BAMUI harus menyesuaikan diri dengan tata hukum yang ada, khususnya jangkauan kewenangannya, karena sengketa yang diputus oleh BAMUI itu bukanlah perkara yang didalamnya termuat campur tangan pemerintah atau bukan masalah-masalah yang berhubungan dengan Wakaf dan Hibah sebagaimana tersebut dalam 616 Rv, yang pada perkara ini ada Pengadilan yang mengurusnya. Mengingat  bahwa tidak semua masalah dapat dieksekusi oleh Pengadilan, maka BAMUI membatasi kewenangannya hanya pada penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungannya dengan perdagangan, industri, keuangan dan jasa yang dikelola secara Islami. Supaya putusan arbitrase BAMUI ini dapat diterima dengan baik oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka arbiter harus dapat menjatuhkan putusan yang adil dan tepat bagi pihak yang bersengketa.

3.Badan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS )

Badan Arbitrase syariah Nasional ( BASYARANAS ) sesuai dengan pedoman dasar yang di tetapkan oleh MUI adalah lembaga Hakam yang bebas otonom dan independent tidak boleh di campuri kekuasaan oleh pihak-pihak manapun.BASYARNAS adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN ( Dewan Syariah Nasional ),LPPO ( Lembaga Pengkajian pengawasan Obat-obatan dan makanan ),YDDP ( Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).

Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagaiberikut :

1.UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase danAlternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-UndangNo, 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yangdipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusanmengenai sengketa tertentu.

2.SK MUI (Majelis Ulama Indonesia) SK. Dewan Pimpinan MUI No.Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang BadanArbitrase Syariah Nasional. Badan Arbitrase Syariah Nasional(BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunyadi Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketamuamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan,industri, jasa dan lain-lain.

3.Fatwa DSNMUI Semua fatwa Dewan Syariah Nasional MajelisUlama Indonesia (DSNMUI) perihal hubungan muamalah ( perdata)senantiasadiakhiri dengan ketentuan : "Jika salah satu pihak tidakmenunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantarakeduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui BadanArbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melaluimusyawarah".Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai peraturanprosedur yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain : permohonan untukmengadakan arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian,pembuktian dan saksisaksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilanputusan, perbaikan putusan, pembatalan putusan, pendaftaran putusan,pelaksanaan putusan (eksekusi),

 

 

 

 KESIMPULAN

 

Dari uraian pembahasan di atas, sampailah pada beberapa kesimpulan sesbagai berikut :

1.      Penyelesaian sengketa Ekonomi syariah seharusnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.Penyelesaian sengketa   Ekonomi Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

2.      Penyelesaian Sengketa Ekonomi syariah yang dilakukan di Pengadilan Negeri  dalam hal sengketa Ekonomi syariah hendaknya hanya merupakan hal-hal yang bersifat darurat apabila penyelesaian sengketa tidak bisa dilakukan dengan prinsip syariah.

3.      Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.Dengan adanya arbitrase yang berprinsip syariah merupakan pilihan tepat dalam penyelesaian sengketa dalam Ekonomi syariah.

 

Sumber :

 

http://serbaserbiilmuhukum.blogspot.com/2012/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi-syariah.html



Suyud Margono,ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan aspek Hukum ,Ghlia Indonesia ,Jakarta,2000

Mughits,Abdul ,Kompilasi hokum syariah dalam al-Mawarid,edisi,XVIII,2008

Ramdhon Naning,Penyelesaian Sengketa dalam Islam ( Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional dan kewenangan Pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi syariah ,dalam Journal Varia advokat,VI,2008