Selasa, 03 Juni 2014


MEMFORMAT KEBIJAKAN EKONOMI NASIONAL DALAM MEMPERBAIKI PEREKONOMIAAN NEGARA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dari sekian banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentunya memiliki efek yang sangat berpengaruh bagi masyarakat.Kebijakan tersebut harus dilaksanakan mulai dari tingkat desa hingga ke kota.Kebijakan yang baik akan membawa dampak yang baik pula bagi perekonomian dan pembangunan negara.Korten (1993),menyatakan bahwa peembangunan adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perseorangan dan institusi mereka untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup dan sesuai dengan aspirasi mereka sendiri.Setelah bangsa Indonesia merdeka hingga saat ini Indonesia masih mengalami kesullitan dalam menata perekonomian.
1 Dengan kondisi perekonomian seperti itu, tidak dapat dihindari kenyataan bahwa pemerintah mengalami berbagai permasalahan dalam rangka mengurangi kesenjangan antar wilayah atau daerah di Indonesia. Target pengentasan kemiskinan 50 kabupaten tertinggal sekarang ini rupanya diilhami oleh keberhasilan pengentasan kabupaten tertinggal pada RPJM periode 2005—2009 yang lalu. Selama kurun 2005—2009 telah dicapai pengentasan 50 kabupaten tertinggal, tetapi pada waktu yang sama muncul 34 kabupaten tertinggal baru akibat pemekaran wilayah. Sehingga jumlah kabupaten tertinggal yang tadinya sebanyak 199 turun menjadi 183 kabupaten. Dengan target KPDT untuk mengentaskan lagi 50 kabupaten tertinggal selama RPJM 2010—2014, maka pada akhir 2014 jumlah kabupaten tertinggal akan turun lagi menjadi 133 kabupaten. Dengan asumsi tidak terjadi tambahan kabupaten tertinggal baru, maka setelah tahun 2014 diperlukan 3 kali RPJM lagi agar Indonesia terbebas dari kabupaten tertinggal. Artinya pada tahun 2030 di Indonesia tidak ada lagi kabupaten tertinggal
2 Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; (5) belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.
Agar Indonesia dapat lebih maju maka perekonomian yang ada harus ada perubahan yang dapat mamberikan kemajuan.Optimalisasi peningkatan pendapatan,keswadayaan,dan kesejahteraan akan mudah dicapai oleh suatu negara jika dikembangkan kerja sama antara pemerintah dengan seluruh elemen masyarakat yang ada dalam suatu negara tersebut.Kerja sama tersebut akan menciptakan keselarasan dalam pembangunan sehingga pembangunan dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.Peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara mendasar terkait dengan peningkatan ekonomi,pendidikan,dan kesehatan maupun infrastruktur lingkungan,strategi pengolahan pembangunan di suatu negara diharapkan dapat menyentuh prioritas-prioritas penting pada bidang bidang pokok agar sesuai dengan kebutuhan,peluang,dan kemampuan yang ada.Apabila kebutuhan dasar tersebut dapat terpenuhi dengan baik maka akan menjadi kunci bagi peningkatan kualitas hidup,kesejahteraan serta kemajuan dalam pembangunan yang ada.
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin tinggi akibat diterapkannya prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), dengan indikasi transparansi dan bersih dari segala bentuk KKN.Keadaan sosial-politik dan ekonomi (nasional dan regional) seluruh sektor pembangunan akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan juga diharapkan tidak mengalami kendala serius apabila seluruh indikator ekonomi makro dalam asumsi optimistik ini dapat tercapai.Semakin besar sumbangan yang diberikan oleh masing masing sektor ekonomi maka akan dapat memberikan perubahan dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara ke arah yang lebih baik
Socia Prihawantoro Peneliti BPPT. “Paradigma Inovasi Dalam Pembangunan Daerah Tertinggal” http://inspirasitabloid.wordpress.com/16 Juli 2010
Ibid, hal 1dan2


Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kebijakan apakah yang harus diambil oleh pemerintah untuk dapat memperbaiki perekonomian dan pembangunan negara Indonesia agar dapat bangkit dari keterpurukan dan agar tidak ada ketimpangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Tinjauan Literatur:
Korten (1993),menyatakan bahwa peembangunan adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perseorangan dan institusi mereka untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup dan sesuai dengan aspirasi mereka sendiri.Setelah bangsa Indonesia merdeka hingga saat ini Indonesia masih mengalami kesullitan dalam menata perekonomian.
1 Dengan kondisi perekonomian seperti itu, tidak dapat dihindari kenyataan bahwa pemerintah mengalami berbagai permasalahan dalam rangka mengurangi kesenjangan antar wilayah atau daerah di Indonesia. Target pengentasan kemiskinan 50 kabupaten tertinggal sekarang ini rupanya diilhami oleh keberhasilan pengentasan kabupaten tertinggal pada RPJM periode 2005—2009 yang lalu. Selama kurun 2005—2009 telah dicapai pengentasan 50 kabupaten tertinggal, tetapi pada waktu yang sama muncul 34 kabupaten tertinggal baru akibat pemekaran wilayah. Sehingga jumlah kabupaten tertinggal yang tadinya sebanyak 199 turun menjadi 183 kabupaten. Dengan target KPDT untuk mengentaskan lagi 50 kabupaten tertinggal selama RPJM 2010—2014, maka pada akhir 2014 jumlah kabupaten tertinggal akan turun lagi menjadi 133 kabupaten. Dengan asumsi tidak terjadi tambahan kabupaten tertinggal baru, maka setelah tahun 2014 diperlukan 3 kali RPJM lagi agar Indonesia terbebas dari kabupaten tertinggal. Artinya pada tahun 2030 di Indonesia tidak ada lagi kabupaten tertinggal
Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan (Sumodiningrat, 2001:13). Hal senada disampaikan oleh Todaro (1994:15) bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan.
Permasalahan besar yang masih dihadapi Indonesia hingga saat ini adalah terjadinya kesenjangan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi masalah perekonomian pemerintah harus menyelesaikan permasalahan akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan perekonomian yang terjadi di wilayah Indonesia. Sehingga terjadi perbedaan dari distribusi pendapatan antara daerah dan distribusi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah merupakan satu permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia. Perbedaan tersebut terjadi selama bertahun-tahun lamanya sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah satu dengan yang lain.
Salah satu upaya kebijakan pemerintah adalah melakukan desentralisasi kewenangan dan keuangan. Namun kebijakan ini masih belum mampu memperkecil ketimpangan tersebut, dimana terlihat adanya perbedaan tingkat pembangunan, seperti perbedaan tingkat pendapatan per kapita dan infrastruktur di daerah yang disebabkan karena minimnya pengeluaran pembangunan di daerah serta kendala-kendala SDM, infrastruktur , teknologi dan dana.
Berbagai pandangan dapat digunakan untuk menjelaskan tentang fenomena ketimpangan yang berlangsung di Indonesia. Kebijakan industrialisasi yang semula diyakini akan dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi terbukti sangat rapuh bila dalam implementasinya tidak melibatkan sektor primer. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pertumbuhan sektor industri yang cukup tinggi ternyata tidak memberikan dampak apapun bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Gunawan Sumodiningrat, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi – Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: PerPod , 2001, hal 13
Michael P Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. 1994, hal 15
Socia Prihawantoro Peneliti BPPT. “Paradigma Inovasi Dalam Pembangunan Daerah Tertinggal” http://inspirasitabloid.wordpress.com/16 Juli 2010


Pembangunan sektor industri tumbuh sangat tinggi namun tidak diringi dengan pembangunan sektor pertanian sehingga kondisi ini semakin meningkatkan ketimpangan sektoral yang sangat tidak menguntungkan bagi daerah yang mengandalkan sektor pertanian. Pada sisi lain sektor industri sendiri yang memperoleh berbagai dukungan kebijakan begitu luar biasa tidak menunjukkan prestasi apapun karena daya saingnya yang rendah. Hal ini sebagian terjadi karena sektor industri tersebut tidak berbasis pada sektor pertanian yang merupakan basis ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia; belum lagi pembangunan sektor industri tersebut dibangun dengan berbagai permasalahan yang memperlemah daya saing.
Tentu saja untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan tersebut tidak cukup hanya sebatas bantuan subsidi modal bagi kelompok miskin maupun peningkatan pendidikan (keterampilan) tenaga kerja di Indonesia. Lebih penting dari itu, harus diakui bahwa persoalan yang terjadi sesungguhnya adalah akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan bersifat struktural. Maksud nya, kebijakan masa lalu yang begitu menyokong sektor industri dengan mengorbankan sektor lainnya perlu direvisi karena telah mendorong munculnya ketimpangan sektoral yang berujung pada kesenjangan pendapatan. Dari perspektif ini agenda mendesak bagi Indonesia adalah memikirkan kembali secara serius model pembangunan ekonomi yang secara serentak bisa memajukan semua sektor dengan melibatkan seluruh rakyat. Sebagian besar ekonom meyakini bahwa strategi pembangunan itu adalah modernisasi pertanian dengan melibatkan sektor industri sebagai unit pengolahnya.
Di samping itu upaya meminimalkan ketimpangan pendapatan juga harus menyentuh aspek distribusi faktor produksi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia model serupa belum bisa efektif karena lemahnya institusi serikat kerja dan dominannya kekuasaan pihak perusahaan. Dalam kondisi seperti ini fungsi pemerintah adalah mengeluarkan regulasi yang mengatur pembagian keuntungan ekonomi di antara faktor produksi tersebut, di samping undang-undang yang mengatur masalah pendapatan minimum. Sementara itu upaya penguatan serikat pekerja tetap harus dilakukan agar mereka bisa memiliki posisi yang setara dalam membicarakan masalah upah dan insentif lainnya dengan pihak pemilik modal.


PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum
Seiring dengan pembangunan ekonomi yang semakin berorientasi kepada mekanisme pasar serta adanya pergeseran struktur perekonomian, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia merupakan hal yang sulit dihindari. Kesenjangan antardaerah terjadi terutama antara perdesaan dan perkotaan, antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan hinterland dengan kawasan perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada juga diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya terutama sumber daya manusia dan sumber daya alam antara daerah yang satu dengan yang lain, serta kebjakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Sejauh ini berbagai upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antardaerah baik secara langsung maupun tidak langsung, baik yang berbentuk kerangka regulasi maupun kerangka anggaran telah dilakukan, namun demikian hasilnya masih belum cukup memadai untuk mengurangi tingkat kesenjangan yang ada.
Wilayah strategis dan cepat tumbuh dengan potensi sumber daya alam dan lokasi yang menguntungkan, seharusnya berkembang dan mampu menjadi pendorong percepatan pembangunan bagi wilayah yang potensi ekonominya rendah (wilayah tertinggal), dan wilayah perbatasan. Namun demikian wilayah strategis dan cepat tumbuh masih menghadapi banyak kendala dalam berbagai aspek seperti infrastruktur, SDM, kelembagaan, maupun akses terhadap input produksi dan pasar.
Sementara itu kota-kota nasional yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan disekitarnya - khususnya wilayah perdesaan - justru memberikan dampak yang merugikan (backwash effects). Hal ini antara lain dikarenakan kurang berfungsinya sistem kota-kota nasional secara hirarkis sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah pengaruhnya. Di samping itu masih terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali.
Tantangan utama yang dihadapi dalam meningkatkan pembangunan di wilayah yang tertinggal adalah begitu banyak daerah tertinggal yang harus ditangani, dimana sebagian diantaranya lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Akibatnya masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program–program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain:
1.      terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju;
2.      kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar;
3.      kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia;
4.      belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung;
5.      belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.
Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.
Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan upaya yang bersifat jangka panjang, yang hasilnya tidak dapat segera dinikmati dalam jangka pendek Oleh karena itu konsistensi kebijakan dan perencanaan serta pengarusutamaan anggaran yang terkait dengan program-program dan kegiatan pengurangan ketimpangan pembangunan sangat penting.
B. Permasalahan
Masih Tingginya Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah. Pembangunan Nasional yang telah dilakukan selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, namun demikian pembangunan tersebut ternyata juga menimbulkan dampak kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti antara Jawa-Luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI)-Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota-desa. Untuk dua konteks pertama, ketimpangan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang, pada titik yang paling ekstrim, muncul dalam bentuk upaya-upaya separatis. Untuk konteks yang ketiga-kesenjangan antara desa dan kota-adalah konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal. Upaya-upaya percepatan pembangunan pada daerah yang masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu namun hasilnya masih belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di daerah dimaksud.
Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang. Perhatian berbagai pihak terhadap pembangunan di kawasan perbatasan pada beberapa tahun terakhir ini semakin besar. Disamping memiliki potensi sumber daya alam yang besar, kawasan perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar, merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun di beberapa wilayah perbatasan terjadi kesenjangan pembangunan yang cukup besar dengan negara tetangga yang dikhawatirkan dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai kerawanan. Untuk wilayah perbatasan (khususnya perbatasan darat) disamping masalah rendahnya dana pembangunan, penyebab utama ketertinggalan adalah akibat dari arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-oleh kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan kita. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah seperti sekolah, puskesmas, dll.

Banyak Wilayah Yang Masih Tertinggal. Kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya memiliki akses yang sangat terbatas kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, khususnya yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain:
1.      sulitnya mencari lahan bagi pemberdayaan komunitas adat terpencil secara eksitu development,
2.      belum diprioritaskannya pengembangan wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena tidak menghasilkan PAD secara langsung, serta
3.      belum optimalnya dukungan sektor terkait.
Masih Terjadinya Konflik di Berbagai Wilayah. Dalam beberapa tahun terakhir, di beberapa daerah terjadi konflik antar pemeluk agama, suku, dan golongan. Faktor penyebab konflik antara lain adalah karena adanya kesenjangan ekonomi, sosial, dan tidak terpenuhinya hak-hak politik masyarakat di wilayah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan sehingga pada saat ini konflik-konflik horisontal itu telah mereda. Namun demikian dibeberapa daerah potensi konflik masih ada.
Belum Dikembangkannya Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh. Masalah dan tantangan yang harus diselesaikan untuk mempercepat pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh dan mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan adalah:
1.      keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan;
2.      belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah;
3.      belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta;
4.      belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;
5.      belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah (antar sektor), swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan;
6.      masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi;
7.      keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta
8.      belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Pertumbuhan Perkotaan Yang Tidak Seimbang. Permasalahan utama dalam pembangunan perkotaan adalah pertumbuhan yang tidak seimbang antara kota-kota besar/metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kota-kota terlalu terpusat di pulau Jawa-Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil berjalan lambat dan tertinggal. Permasalahan lainnya meliputi:
1.      belum optimalnya fungsi ekonomi perkotaan terutama di kota-kota menengah dan kecil dalam hal menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan;
2.      kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan yang tidak berkelanjutandan cenderung memburuk;
3.      kualitas hidup (sosial) masyarakat di perkotaan yang menurun karena permasalahan sosial-ekonomi, serta karena penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan dan perdesaan.
C.Arah Kebijakan Pembangunan
Salah satu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi regional adalah memberikan otonomi kepada daerah untuk menyelenggarakan program-program pembangunan regional, sehingga seluruh pertanggungjawaban, pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah daerah.
Namun sebagaimana diketahui meskipun ada otonomi daerah, pembangunan ekonomi didaerah tidak hanya berasal dari program pembangunan regional (sebagai manifestasi dari azas desentralisasi), tapi juga berasal dari program sektoral (sebagai perwujudan azas dekonsentrasi). Kedua program itu dijalankan secara bersama-sama oleh pemerintah dalam rangka menjembatani kesenjangan kemajuan pembangunan ekonomi antardaerah. Tetapi, sampai saat ini program sektoral masih mendominasi program regional, sehingga otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab belum terwujud sepenuhnya.
Pertumbuhan yang tinggi tersebut belum sepenuhnya dinikmati secara merata oleh lapisan masyarakat di daerah. Keragaman ekonomi antardaerah tersebut antara lain disebabkan karena tingkat perbedaan yang cukup berarti dalam laju pertumbuhan antardaerah, potensi antardaerah yang telah dikembangkan, laju pertumbuhan penduduk, laju inflasi, penyerapan tenaga kerja menurut sektor, kualitas sumberdaya manusia, fasilitas yang tersedia antardaerah dan tingkat produktivitas tenaga kerja antar daerah.
Di samping itu ketimpangan antar wilayah terjadi karena struktur ekonomi yang berbeda, dimana sektor dominan yang tumbuh cepat dapat mendorong sektor-sektor lain yang pada gilirannya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Pertumbuhan ekonmi yang tinggi akan berpengaruh juga terhadap besarnya kontribusinya pada PDRB Provinsi.
Ketidak seimbangan dalam perekonomian antar daerah menyangkut pola dan arah investasi serta prioritas alokasinya di antara berbagai daerah dalam wilayah negara kesatuan atau provinsi, khususnya yang menyangkut investasi dalam sumberdaya manusia dan investasi dalam prasarana fisik.Kondisi ini pada gilirannya akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan perkapita antardaerah di suatu wilayah, sehingga kecenderungan terjadinya perbedaan dan ketimpangan pada pola, laju pertumbuhan dan pendapatan perkapita antar berbagai kawasan dalam suatu wilayah dalam satu negara.
Sejak tahun 1999 pertumbuhan ekonomi mulai meningkat, namun karena sebagian besar daerah kabupaten masih mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor primer seperti sumberdaya alam dan migas, menyebabkan tingkat kesenjangan pendapatan antardaerah juga meningkat. Hal ini tergambar dari kontribusi sektor primer masih relatif besar untuk terutama migas.
Keadaan ini sebenarnya jika tidak disikapi dengan arif, akan berpengaruh pada struktur ekonomi Provinsi Jambi yang pada gilirannya ketergantungan pada migas menjadi besar, dan kreativitas untuk mendorong sektor lain dapat berkurang.
Dengan demikian jika dihubungkan dengan trend meningkatnya tingkat kesenjangan pendapatan antardaerah memberikan indikasi bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kesenjangan pendapatan antar daerah dengan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi, untuk beberapa periode. Karateristik wilayah yang sangat berbeda antara wilayah barat dan timur membutuhkan penanganan yang berbeda pula, baik dalam pembangunan infrastruktur maupun sumberdaya manusianya.
Dalam rangka mencapai sasaran pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah dimaksud diatas, diperlukan arah kebijakan sebagai berikut:
1.      Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. Upaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerjasama antarsektor, antarpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah;
2.      Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema dana alokasi khusus, public service obligation (PSO), universal service obligation (USO) dan keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’;
3.      Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadioutward looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach), juga diperlukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach);
4.      Menyeimbangan pertumbuhan pembangunan antarkota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu ‘sistem pembangunan perkotaan nasional.’ Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward linkages) sejak tahap awal mata rantai industri, tahap proses produksi antara, tahap akhir produksi (final process), sampai tahap konsumsi (final demand) di masing-masing kota sesuai dengan hirarkinya. Hal ini perlu didukung, antara lain, peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa antarkota-kota tersebut, antara lain melalui penyelesaian dan peningkatan pembangunan trans Kalimantan, trans Sulawesi;
5.      Meningkatkan percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya, maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan seseuai dengan tipologi kota masing-masing;
6.      Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan ‘backward linkages’ dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’;
7.      Mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu ‘sistem wilayah pembangunan metropolitan’ yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan;
8.      Mengoperasionalisasikan ’Rencana Tata Ruang’ sesuai dengan hirarki perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi, RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah; dan
9.      Merumuskan sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi.



D. Program-Program Pembangunan
Program-program yang diperlukan untuk menerapkan arah kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
1. Program Unggulan
a) Program Pengembangan Wilayah Strategis Dan Cepat Tumbuh
Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk-produk unggulan di pasar regional, nasional, dan global, maka kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk mefasilitasi pemerintah daerah adalah :
1.      Peningkatan pengembangan kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh, khususnya kawasan yang memiliki produk unggulan, melalui pemberian bantuan teknis dan pendampingan kepada Pemerintah Daerah, pelaku usaha, pengrajin, petani dan nelayan;
2.      Peningkatan penyediaan prasarana dan sarana, seperti pembangunan sistem jaringan perhubungan termasuk outlet-outlet pemasaran yang efisien dalam rangka menghubungkan kawasan strategis dan cepat tumbuh dengan pusat-pusat perdagangan nasional dan internasional, termasuk upaya untuk meningkatkan aksesibilitas yang menghubungkan dengan wilayah-wilayah tertinggal;
3.      Pemberdayaan kemampuan pemerintah daerah untuk membangun klaster-klaster industri, agroindustri, yang berdaya saing di lokasi-lokasi strategis melalui pemberian insentif yang kompetitif sehingga dapat menarik investor domestik maupun asing untuk menanamkan modalnya.
4.      Penguatan pemerintah daerah untuk meningkatkan, mengefektifkan dan memperluas kerjasama pembangunan ekonomi regional yang saling menguntungkan antar Provinsi Jambi, dengan Provinsi Riau serta dengan negara-negara tetangga, termasuk peningkatan kerjasama ekonomi sub-regional yang selama ini sudah dirintis, yaitu IMS-GT;
5.      Peningkatan kerja sama antar pemerintah daerah melalui sistem jejaring kerja (networking) yang saling menguntungkan. Kerja sama ini sangat bermanfaat sebagai sarana saling berbagi pengalaman (sharing of experiences), saling berbagi manfaat (sharing of benefits), maupun saling berbagi dalam memikul tanggung jawab pembiayaan pembangunan (sharing of burdens) terutama untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana ekonomi yang menuntut skala ekonomi (scale of economy) tertentu sehingga tidak efisien untuk dibangun di masing-masing daerah;
6.      Pemberdayaan pemerintah daerah dalam:
(a) mengidentifikasi produk-produk unggulan;
(b) pengembangan informasi pasar bagi hasil-hasil produk unggulan;
(b) peningkatan pengetahuan dan kemampuan kewirausahaan pelaku ekonomi;
(c) peningkatan akses petani dan pengusaha kecil menengah kepada sumber-sumber permodalan;
(d) perluasan jaringan informasi teknologi dan pemanfaatan riset dan teknologi yang difokuskan untuk mendukung produk unggulan;
(e)pengembangan kelembagaan pengelolaan pengembangan usaha;
b) Program Pengembangan Wilayah Tertinggal
1.      Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, khususnya untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah tertinggal melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), skema pembiayaan lain baik kerjasama dengan Pemerintah maupun swasta.
2.      Peningkatan kapasitas (capacity building) terhadap masyarakat, aparatur pemerintah, kelembagaan, dan keuangan daerah. Selain dari pada itu, upaya percepatan pembangunan SDM sangat diperlukan melalui pengembangan sarana dan prasarana sosial terutama bidang pendidikan dan kesehatan;
3.      Pemberdayaan komunitas adat terpencil untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan beradaptasi dengan kehidupan masyarakat yang lebih kompetitif;
4.      Pembentukan pengelompokan permukiman untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan pelayanan umum, terutama untuk wilayah-wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah dan tersebar. Hal ini antara lain dapat dilaksanakan melalui transmigrasi lokal, maupun antar regional;
5.      Peningkatan akses petani, nelayan, transmigran dan pengusaha kecil menengah kepada sumbersumber permodalan, khususnya dengan skema dana bergulir dan kredit mikro, serta melalui upaya penjaminan kredit mikro oleh pemerintah kepada perbankan, salah satu seperti Kredit KUPEM
6.      Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah tertinggal dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis, terutama pembangunan sistem jaringan transportasi yang menghubungkan antar wilayah.
c. Program Pengelolaan Pertanahan
Program penataan ruang tidak akan berjalan secara efektif tanpa disertai program pengelolaan pertanahan. Program pengelolaan pertanahan ditujukan untuk:
1.      meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan secara konsisten;
2.      memperkuat kelembagaan pertanahan di provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
3.      mengembangkan sistem pengelolaan dan administrasi pertanahan yang transparan, terpadu, efektif dan efisien dalam rangka peningkatan keadilan kepemilikan tanah oleh masyarakat; dan
4.      melanjutkan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara berkelanjutan sesuai dengan RTRW dan dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
2.Program Penunjang
a. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
Program ini ditujukan untuk:
1.      menjaga kesatuan wilayah Provinsi Jambi melalui penetapan hak yang dijamin oleh hukum nasional;
2.      meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan provinsi tetangga.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk memfasilitasi pemerintah daerah adalah :
1.      Penguatan pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui:
(a) peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi;
(b) peningkatan kapasitas SDM;
(c) pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan;
(d) peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;
2.      Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), dan skema lainnya.
b. Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah
Program ini bertujuan untuk :
1.      meningkatkan kemampuan pembangunan dan produktivitas kota-kota kecil dan menengah;
2.      meningkatkan fungsi eksternal kota-kota kecil dan menengah dalam suatu ’sistem wilayah pengembangan ekonomi’ dan memantapkan pelayanan internal kota- kota tersebut.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk memfasilitasi pemerintah daerah adalah :
1.      Peningkatan pertumbuhan industri kecil di kota-kota kecil, khususnya industri yang mengolah hasil pertanian (agroindustry) dari wilayah-wilayah perdesaan, melalui:
(a) pengembangan sentrasentra industri kecil dengan menggunakan teknologi tepat guna;
(b) peningkatan fungsi pasar lokal;
(c) peningkatan prasarana dan sarana transportasi yang menghubungkan kota-kota kecil dengan wilayah-wilayah perdesaan; .
2.      Penyiapan dan pemantapan infrastruktur sosial dasar perkotaan di kota-kota kecil dan menengah untuk dapat melayani fungsi internal dan eksternal kotanya, terutama wilayah-wilayah yang masuk dalam satuan wilayah pengembangan ekonomi;
3.      Pemberdayaan kemampuan:
(a) profesionalisme aparatur dalam pengelolaan dan peningkatan produktivitas kota; (b) kewirausahaan dan manajemen pengusaha kecil dan menengah dalam meningkatkan kegiatan usaha, termasuk penerapan ‘good corporate governance’;
(c) masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan-kebijakan publik perkotaan di kota-kota kecil dan menengah;
4.      Penyempurnaan kelembagaan melalui reformasi dan restrukturisasi kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip ‘good urban governance’ dalam pengelolaan perkotaan kota-kota kecil dan menengah dalam rangka meningkatkan fungsi pelayanan publik;
5.      Pemberdayaan kemampuan pemerintah kota dalam memobilisasi dana pembangunan melalui:
(a) peningkatan kemitraan dengan swasta dan masyarakat;
(b) pinjaman langsung dari bank komersial dan pemerintah provinsi dan pusat;
(c) penerbitan obligasi daerah (municipal bond);
(d) ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi;
6.      Pemberdayaan kemampuan pengusaha kecil dan menengah, melalui:
(a) pemberian akses permodalan;
(b) pengembangan informasi pasar bagi produk-produk lokal;
(c) pemberian bantuan teknologi tepat guna.
c. Program Penataan Tata Ruang Wilayah
Rencana tata ruang merupakan landasan atau acuan kebijakan spasial bagi pembangunan lintas sektor maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) telah menetapkan norma-normaspatial pemanfaatan ruang wilayah daerah. RTRW Provinsi berisikan:
(a) pola pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya di Provinsi Jambi;
(b) struktur pengembangan jaringan sarana dan prasarana wilayah, termasuk pusat- pusat permukiman. Oleh karena itu, sangat penting untuk memanfaatkan RT/RW Provinsi Jambi sebagai acuan penataan ruang daerah, yang kemudian dijabarkan kedalam RTRW dan Kabupaten/Kota.
1) Pengembangan Kawasan Khusus
a) Pengembangan kawasan cepat tumbuh, dan lokasi strategis;
b) Pengembangan kawasan potensial/prospektif, yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam;
c) Pengembangan kawasan terbelakang, yang kurang memiliki sumber daya alam dan atau terisolasi, termasuk daerah perbatasan;
d) Pengembangan kawasan berbasis kelautan.
2) Kebijakan Pengembangan Kawasan Tumbuh Cepat dan Strategis
a) Peningkatan dan diversifikasi produk unggulan;
b) Peningkatan arus perdagangan antara wilayah;
c) Peningkatan fungsi kota sedang dan kecil di luar Jambi;
d) Peningkatan prasarana dan sarana ekonomi antar daerah;
e) Peningkatan iklim investasi dan usaha;
f) Peningkatan Kerjasama dan usaha;
g) Peningkatan Kapasitas pemerintah antar daerah dalam pengembangan ekonomi wilayah/lokal;
h) Pengendalian kualitas lingkungan kawasan permukiman;
i) Peningkatan kualitas hidup masyarakat.
3) Kebijakan Pengembangan Kawasan Profektif
a) Peningkatan iklim investasi dan kemudahan perizinan dalam pengembangan kawasan prospektif;
b) Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana kawasan prospektif;
c) Peningkatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan bisnis di kawasan prospektif;
d) Peningkatan keterkaitan ekonomi lokal dan global;
e) Peningkatan kapasitas pemerintah dalam pengembangan ekonomi di kawasan prospektif.
4) Kebijakan Pengembangan Kawasan Tertinggal (Termasuk Kawasan Terisolasi dan Perbatasan).
a) Peningkatan ketersediaan pelayanan prasarana dan sarana di kawasan tertinggal dan perbatasan (sebagai beranda depan);
b) Peningkatan pengembangan agribisnis skala besar di kawasan tertinggal dan perbatasan;
c) Peningkatan pengamanan pemanfaatan sumber daya kehutanan dan kelautan di daerah perbatasan;
d) Peningkatan penyediaan pos pemeriksaan lintas antara negera;
e) Peningkatan pengamanan garis perbatasan negara.
5) Kebijakan Pengembangan Kawasan Berbasis Kelautan
a) Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana kawasan berbasis kelautan (maritim);
b) Peningkatan pengembangan industri berbasis kelautan skala besar;
c) Pengembangan armada nelayan;
d) Peningkatan pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil;
e) Peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan;
f) Peningkatan pengamanan pantai dan batas negara di lautan bebas.














Kesimpulan
Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di Indonesia  adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.Untuk itu peranana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangatlah penting dalam mendukung dan mengembangkan ekonomi yang berada di daerah-daerah.Kebijakan tersebut harus dapat dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat guna mencapai suatu tujuan bersama yaitu memperbaiki perekonomian dan pembangunan di negara Indonesia.Upaya pembangunan yang terencana dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan yang dilakukan. Lebih jauh lagi berarti perencanaan yang tepat sesua dengan kondisi di suatu wilayah menjadi syarat mutlak dilakukannya usaha pembangunan.
Perencanaan pembangunan memiliki ciri khusus yang bersifat usaha pencapaian tujuan pembangunan tertentu. Adapun ciri dimaksud antara lain:
1.      Perencanaan yang isinya upaya-upaya untuk mencapai perkembangan ekonomi yang kuat dapat tercermin dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi positif.
2.      Ada upaya untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
3.      Berisi upaya melakukan struktur perekonomian
4.      Mempunyai tujuan meningkatkan kesempatan kerja.
5.      Adanya pemerataan pembangunan.





Daftar Pustaka
Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. (edisi pertama). Yogyakarta: BPFE-UGM.
Basri, Faisal. 1995. Profil dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Hadi, S. 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Neraca Sosial Ekonomi). Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2001.
Israriskandar.2011.Kebijakan Pemerintah dan Ketimpangan Pembangunan.diunduh dari situs (http// israiskandar.wordpress.com/2011/03/12 kebijakan-pemerintah- dan - ketimpangan pembangunan/) pada tanggal 12 Maret 2014 20.38
Kuncoro, Mudrajad.2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, masalah,dan kebijakan Edisi III.
Yogyakarta: (UPP) AMP YKPN.
Lay, Cornelis. 1993. Ketimpangan dan Keterbelakangan di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik UGM.
Meier, Gerald M. dan Robert Baldwin. 1965. Pembangunan Ekonomi, terjemahan, Sihotang.
Bhratara. Jakarta.
Mubyarto, 2002. Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Rayat. Artikel Tahun I No. 7, November 2002, Jakarta. www.ekonomi rakyat.org.
Nurzaman, Siti Sutriah, 2002. Perencanaan Wilayah di Indonesia – Pada Masa Sekitar Krisis. Bandung: ITB.
Priya, Kusuma. 2010.Pengembangan Kawasan. Diunduh dari situs (http://kusumapriya.blogspot.com) pada 19 November 2011 pukul 20.30.
Sukirno, Sadono. 2006.Mikro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers
Santoso, Budi, “Dinamika dan Pertumbuhan Ekonomi rakyat dalam Perspektif Strategi Pembangunan”, dalam Daya Saing Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas, Diterbitkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Trisakti ke-31, Media Ekonomi Publising (MEP)
Smith C Stephen, Todaro P. Michael. 2006.Pembangunan Ekonomi. Munandar, dkk, penerjemah. Jakarta: PT Erlangga. Terjemahan dari:Economic Development.
Sumodiningrat, Gunawan, 2001. Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi – Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: PerPod.
Tambunan, Tulus T.H., Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, 1996.
Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Wardhana, Wisnu Arya.2008.Dampak Pencemaran Lingkungan.Penerbit Andi:Yogyakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar