MEMFORMAT KEBIJAKAN
EKONOMI NASIONAL DALAM MEMPERBAIKI PEREKONOMIAAN NEGARA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dari sekian banyak kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tentunya memiliki efek yang sangat berpengaruh bagi
masyarakat.Kebijakan tersebut harus dilaksanakan mulai dari tingkat desa hingga
ke kota.Kebijakan yang baik akan membawa dampak yang baik pula bagi
perekonomian dan pembangunan negara.Korten (1993),menyatakan bahwa peembangunan
adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas
perseorangan dan institusi mereka untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang
berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup dan sesuai dengan aspirasi mereka
sendiri.Setelah bangsa Indonesia merdeka hingga saat ini Indonesia masih
mengalami kesullitan dalam menata perekonomian.
1 Dengan kondisi perekonomian
seperti itu, tidak dapat dihindari kenyataan bahwa pemerintah mengalami
berbagai permasalahan dalam rangka mengurangi kesenjangan antar wilayah atau
daerah di Indonesia. Target pengentasan kemiskinan 50 kabupaten tertinggal
sekarang ini rupanya diilhami oleh keberhasilan pengentasan kabupaten
tertinggal pada RPJM periode 2005—2009 yang lalu. Selama kurun 2005—2009 telah
dicapai pengentasan 50 kabupaten tertinggal, tetapi pada waktu yang sama muncul
34 kabupaten tertinggal baru akibat pemekaran wilayah. Sehingga jumlah
kabupaten tertinggal yang tadinya sebanyak 199 turun menjadi 183 kabupaten.
Dengan target KPDT untuk mengentaskan lagi 50 kabupaten tertinggal selama RPJM
2010—2014, maka pada akhir 2014 jumlah kabupaten tertinggal akan turun lagi
menjadi 133 kabupaten. Dengan asumsi tidak terjadi tambahan kabupaten
tertinggal baru, maka setelah tahun 2014 diperlukan 3 kali RPJM lagi agar
Indonesia terbebas dari kabupaten tertinggal. Artinya pada tahun 2030 di
Indonesia tidak ada lagi kabupaten tertinggal
2 Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah
tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara
lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal
dengan wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah
dan tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya
sumber daya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di
wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan
pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; (5) belum optimalnya dukungan
sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.
Agar Indonesia dapat lebih maju
maka perekonomian yang ada harus ada perubahan yang dapat mamberikan
kemajuan.Optimalisasi peningkatan pendapatan,keswadayaan,dan kesejahteraan akan
mudah dicapai oleh suatu negara jika dikembangkan kerja sama antara pemerintah
dengan seluruh elemen masyarakat yang ada dalam suatu negara tersebut.Kerja
sama tersebut akan menciptakan keselarasan dalam pembangunan sehingga
pembangunan dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.Peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara mendasar terkait dengan
peningkatan ekonomi,pendidikan,dan kesehatan maupun infrastruktur
lingkungan,strategi pengolahan pembangunan di suatu negara diharapkan dapat
menyentuh prioritas-prioritas penting pada bidang bidang pokok agar sesuai
dengan kebutuhan,peluang,dan kemampuan yang ada.Apabila kebutuhan dasar
tersebut dapat terpenuhi dengan baik maka akan menjadi kunci bagi peningkatan
kualitas hidup,kesejahteraan serta kemajuan dalam pembangunan yang ada.
Kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah juga semakin tinggi akibat diterapkannya
prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), dengan indikasi
transparansi dan bersih dari segala bentuk KKN.Keadaan sosial-politik dan
ekonomi (nasional dan regional) seluruh sektor pembangunan akan dapat
meningkatkan kesejahteraan. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan juga
diharapkan tidak mengalami kendala serius apabila seluruh indikator ekonomi
makro dalam asumsi optimistik ini dapat tercapai.Semakin besar sumbangan yang
diberikan oleh masing masing sektor ekonomi maka akan dapat memberikan perubahan
dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara ke arah yang lebih baik
Socia
Prihawantoro Peneliti BPPT. “Paradigma Inovasi Dalam Pembangunan Daerah
Tertinggal” http://inspirasitabloid.wordpress.com/16 Juli 2010
Ibid,
hal 1dan2
Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kebijakan apakah yang harus diambil
oleh pemerintah untuk dapat memperbaiki perekonomian dan pembangunan negara
Indonesia agar dapat bangkit dari keterpurukan dan agar tidak ada ketimpangan
antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Tinjauan Literatur:
Korten (1993),menyatakan bahwa
peembangunan adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan
kapasitas perseorangan dan institusi mereka untuk menghasilkan
perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup dan
sesuai dengan aspirasi mereka sendiri.Setelah bangsa Indonesia merdeka hingga
saat ini Indonesia masih mengalami kesullitan dalam menata perekonomian.
1 Dengan kondisi perekonomian
seperti itu, tidak dapat dihindari kenyataan bahwa pemerintah mengalami
berbagai permasalahan dalam rangka mengurangi kesenjangan antar wilayah atau
daerah di Indonesia. Target pengentasan kemiskinan 50 kabupaten tertinggal
sekarang ini rupanya diilhami oleh keberhasilan pengentasan kabupaten
tertinggal pada RPJM periode 2005—2009 yang lalu. Selama kurun 2005—2009 telah
dicapai pengentasan 50 kabupaten tertinggal, tetapi pada waktu yang sama muncul
34 kabupaten tertinggal baru akibat pemekaran wilayah. Sehingga jumlah
kabupaten tertinggal yang tadinya sebanyak 199 turun menjadi 183 kabupaten.
Dengan target KPDT untuk mengentaskan lagi 50 kabupaten tertinggal selama RPJM
2010—2014, maka pada akhir 2014 jumlah kabupaten tertinggal akan turun lagi
menjadi 133 kabupaten. Dengan asumsi tidak terjadi tambahan kabupaten
tertinggal baru, maka setelah tahun 2014 diperlukan 3 kali RPJM lagi agar
Indonesia terbebas dari kabupaten tertinggal. Artinya pada tahun 2030 di
Indonesia tidak ada lagi kabupaten tertinggal
Pembangunan adalah proses natural mewujudkan
cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil
dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya
konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan (Sumodiningrat, 2001:13). Hal
senada disampaikan oleh Todaro (1994:15) bahwa pembangunan adalah proses
multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur
sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, disamping akselerasi
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan.
Permasalahan besar yang masih
dihadapi Indonesia hingga saat ini adalah terjadinya kesenjangan pembangunan
ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi masalah perekonomian pemerintah
harus menyelesaikan permasalahan akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan
perekonomian yang terjadi di wilayah Indonesia. Sehingga terjadi perbedaan dari
distribusi pendapatan antara daerah dan distribusi pengeluaran pemerintah pusat
dan daerah merupakan satu permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di
berbagai daerah di Indonesia. Perbedaan tersebut terjadi selama bertahun-tahun
lamanya sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah satu dengan
yang lain.
Salah satu upaya kebijakan pemerintah adalah
melakukan desentralisasi kewenangan dan keuangan. Namun kebijakan ini masih
belum mampu memperkecil ketimpangan tersebut, dimana terlihat adanya perbedaan
tingkat pembangunan, seperti perbedaan tingkat pendapatan per kapita dan
infrastruktur di daerah yang disebabkan karena minimnya pengeluaran pembangunan
di daerah serta kendala-kendala SDM, infrastruktur , teknologi dan dana.
Berbagai pandangan dapat digunakan untuk
menjelaskan tentang fenomena ketimpangan yang berlangsung di Indonesia.
Kebijakan industrialisasi yang semula diyakini akan dapat menjadi penopang
pertumbuhan ekonomi terbukti sangat rapuh bila dalam implementasinya tidak
melibatkan sektor primer. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa
pertumbuhan sektor industri yang cukup tinggi ternyata tidak memberikan dampak
apapun bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Gunawan
Sumodiningrat, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi – Studi
Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan
Masyarakat Indonesia. Jakarta: PerPod , 2001, hal 13
Michael P Todaro, Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. 1994, hal 15
Socia
Prihawantoro Peneliti BPPT. “Paradigma Inovasi Dalam Pembangunan Daerah
Tertinggal” http://inspirasitabloid.wordpress.com/16 Juli 2010
Pembangunan sektor industri tumbuh sangat tinggi
namun tidak diringi dengan pembangunan sektor pertanian sehingga kondisi ini
semakin meningkatkan ketimpangan sektoral yang sangat tidak menguntungkan bagi
daerah yang mengandalkan sektor pertanian. Pada sisi lain sektor industri sendiri
yang memperoleh berbagai dukungan kebijakan begitu luar biasa tidak menunjukkan
prestasi apapun karena daya saingnya yang rendah. Hal ini sebagian terjadi
karena sektor industri tersebut tidak berbasis pada sektor pertanian yang
merupakan basis ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia; belum lagi pembangunan
sektor industri tersebut dibangun dengan berbagai permasalahan yang memperlemah
daya saing.
Tentu saja untuk mengatasi masalah ketimpangan
pendapatan tersebut tidak cukup hanya sebatas bantuan subsidi modal bagi
kelompok miskin maupun peningkatan pendidikan (keterampilan) tenaga kerja di
Indonesia. Lebih penting dari itu, harus diakui bahwa persoalan yang terjadi
sesungguhnya adalah akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan
bersifat struktural. Maksud nya, kebijakan masa lalu yang begitu menyokong
sektor industri dengan mengorbankan sektor lainnya perlu direvisi karena telah
mendorong munculnya ketimpangan sektoral yang berujung pada kesenjangan
pendapatan. Dari perspektif ini agenda mendesak bagi Indonesia adalah
memikirkan kembali secara serius model pembangunan ekonomi yang secara serentak
bisa memajukan semua sektor dengan melibatkan seluruh rakyat. Sebagian besar
ekonom meyakini bahwa strategi pembangunan itu adalah modernisasi pertanian
dengan melibatkan sektor industri sebagai unit pengolahnya.
Di samping itu upaya meminimalkan ketimpangan
pendapatan juga harus menyentuh aspek distribusi faktor produksi. Di
negara-negara berkembang seperti Indonesia model serupa belum bisa efektif karena
lemahnya institusi serikat kerja dan dominannya kekuasaan pihak perusahaan.
Dalam kondisi seperti ini fungsi pemerintah adalah mengeluarkan regulasi yang
mengatur pembagian keuntungan ekonomi di antara faktor produksi tersebut, di
samping undang-undang yang mengatur masalah pendapatan minimum. Sementara itu
upaya penguatan serikat pekerja tetap harus dilakukan agar mereka bisa memiliki
posisi yang setara dalam membicarakan masalah upah dan insentif lainnya dengan
pihak pemilik modal.
PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum
Seiring dengan pembangunan ekonomi
yang semakin berorientasi kepada mekanisme pasar serta adanya pergeseran
struktur perekonomian, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia
merupakan hal yang sulit dihindari. Kesenjangan antardaerah terjadi terutama
antara perdesaan dan perkotaan, antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan
hinterland dengan kawasan perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan
Kawasan Timur Indonesia. Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi
kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada
juga diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya terutama sumber
daya manusia dan sumber daya alam antara daerah yang satu dengan yang lain,
serta kebjakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam
proses perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Sejauh ini berbagai upaya
pemerintah untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antardaerah baik secara
langsung maupun tidak langsung, baik yang berbentuk kerangka regulasi maupun
kerangka anggaran telah dilakukan, namun demikian hasilnya masih belum cukup
memadai untuk mengurangi tingkat kesenjangan yang ada.
Wilayah strategis dan cepat tumbuh
dengan potensi sumber daya alam dan lokasi yang menguntungkan, seharusnya berkembang
dan mampu menjadi pendorong percepatan pembangunan bagi wilayah yang potensi
ekonominya rendah (wilayah tertinggal), dan wilayah perbatasan. Namun demikian
wilayah strategis dan cepat tumbuh masih menghadapi banyak kendala dalam
berbagai aspek seperti infrastruktur, SDM, kelembagaan, maupun akses terhadap
input produksi dan pasar.
Sementara itu kota-kota nasional
yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan disekitarnya - khususnya
wilayah perdesaan - justru memberikan dampak yang merugikan (backwash effects).
Hal ini antara lain dikarenakan kurang berfungsinya sistem kota-kota nasional
secara hirarkis sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan
optimal bagi wilayah pengaruhnya. Di samping itu masih terjadi
ketidakseimbangan pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan
kota-kota menengah dan kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan
metropolitan masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali.
Tantangan utama yang dihadapi dalam
meningkatkan pembangunan di wilayah yang tertinggal adalah begitu banyak daerah
tertinggal yang harus ditangani, dimana sebagian diantaranya lokasinya sangat
terisolir dan sulit dijangkau. Akibatnya masyarakat yang berada di wilayah
tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program–program
pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik
masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena
itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal
memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang
masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain:
1.
terbatasnya
akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang
relatif lebih maju;
2.
kepadatan
penduduk relatif rendah dan tersebar;
3.
kebanyakan
wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia;
4.
belum
diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah
karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara
langsung;
5.
belum
optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.
Permasalahan utama dari
ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan
pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’
sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari
pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan
merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama
karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang
tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh
oleh pelayanan dasar dari pemerintah.
Pengurangan ketimpangan pembangunan
wilayah pada dasarnya merupakan upaya yang bersifat jangka panjang, yang
hasilnya tidak dapat segera dinikmati dalam jangka pendek Oleh karena itu
konsistensi kebijakan dan perencanaan serta pengarusutamaan anggaran yang
terkait dengan program-program dan kegiatan pengurangan ketimpangan pembangunan
sangat penting.
B. Permasalahan
Masih Tingginya Kesenjangan
Pembangunan Antar Wilayah. Pembangunan Nasional yang telah dilakukan selama ini
secara umum telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, namun
demikian pembangunan tersebut ternyata juga menimbulkan dampak kesenjangan yang
lebar antar daerah, seperti antara Jawa-Luar Jawa, antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI)-Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota-desa. Untuk
dua konteks pertama, ketimpangan telah berakibat langsung pada munculnya
semangat kedaerahan yang, pada titik yang paling ekstrim, muncul dalam bentuk
upaya-upaya separatis. Untuk konteks yang ketiga-kesenjangan antara desa dan
kota-adalah konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses
industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah
(infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan.
Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah
perdesaan relatif tertinggal. Upaya-upaya percepatan pembangunan pada daerah
yang masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak lebih dari sepuluh
tahun yang lalu namun hasilnya masih belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh
masyarakat yang tinggal di daerah dimaksud.
Wilayah Perbatasan dan Terpencil
Kondisinya Masih Terbelakang. Perhatian berbagai pihak terhadap pembangunan di
kawasan perbatasan pada beberapa tahun terakhir ini semakin besar. Disamping
memiliki potensi sumber daya alam yang besar, kawasan perbatasan, termasuk
pulau-pulau kecil terluar, merupakan wilayah yang sangat strategis bagi
pertahanan dan keamanan negara. Namun di beberapa wilayah perbatasan terjadi
kesenjangan pembangunan yang cukup besar dengan negara tetangga yang
dikhawatirkan dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai kerawanan. Untuk
wilayah perbatasan (khususnya perbatasan darat) disamping masalah rendahnya
dana pembangunan, penyebab utama ketertinggalan adalah akibat dari arah
kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi
’inward looking’ sehingga seolah-oleh kawasan perbatasan hanya menjadi halaman
belakang dari pembangunan kita. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di
Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit
dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah
penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah seperti
sekolah, puskesmas, dll.
Banyak Wilayah Yang Masih
Tertinggal. Kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal
memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Masyarakat
yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya memiliki akses yang sangat
terbatas kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari
wilayah di sekitarnya. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan wilayah
tertinggal, khususnya yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara
lain:
1.
sulitnya
mencari lahan bagi pemberdayaan komunitas adat terpencil secara eksitu
development,
2.
belum
diprioritaskannya pengembangan wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena
tidak menghasilkan PAD secara langsung, serta
3.
belum
optimalnya dukungan sektor terkait.
Masih Terjadinya Konflik di Berbagai Wilayah. Dalam
beberapa tahun terakhir, di beberapa daerah terjadi konflik antar pemeluk
agama, suku, dan golongan. Faktor penyebab konflik antara lain adalah karena
adanya kesenjangan ekonomi, sosial, dan tidak terpenuhinya hak-hak politik
masyarakat di wilayah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan sehingga pada
saat ini konflik-konflik horisontal itu telah mereda. Namun demikian dibeberapa
daerah potensi konflik masih ada.
Belum Dikembangkannya Wilayah Strategis dan Cepat
Tumbuh. Masalah dan tantangan yang harus diselesaikan untuk mempercepat
pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh dan mendukung peningkatan daya
saing kawasan dan produk unggulan adalah:
1.
keterbatasan informasi
pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan;
2.
belum adanya
sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di
daerah;
3.
belum
optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan
pelaku swasta;
4.
belum
berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan
pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;
5.
belum
berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku
pengembangan kawasan, baik pemerintah (antar sektor), swasta, lembaga non
pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten/kota, dalam
upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan;
6.
masih
terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal
pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran,
dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi;
7.
keterbatasan
jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung
pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta
8.
belum
optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar negara untuk mendukung
peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Pertumbuhan Perkotaan Yang Tidak Seimbang.
Permasalahan utama dalam pembangunan perkotaan adalah pertumbuhan yang tidak
seimbang antara kota-kota besar/metropolitan dengan kota-kota menengah dan
kecil. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kota-kota terlalu terpusat di pulau
Jawa-Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil berjalan lambat
dan tertinggal. Permasalahan lainnya meliputi:
1.
belum
optimalnya fungsi ekonomi perkotaan terutama di kota-kota menengah dan kecil
dalam hal menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan;
2.
kualitas
lingkungan fisik kawasan perkotaan yang tidak berkelanjutandan cenderung
memburuk;
3.
kualitas hidup
(sosial) masyarakat di perkotaan yang menurun karena permasalahan
sosial-ekonomi, serta karena penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar
perkotaan dan perdesaan.
C.Arah Kebijakan Pembangunan
Salah satu kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi regional adalah memberikan otonomi kepada daerah
untuk menyelenggarakan program-program pembangunan regional, sehingga seluruh
pertanggungjawaban, pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah
daerah.
Namun sebagaimana diketahui meskipun ada otonomi
daerah, pembangunan ekonomi didaerah tidak hanya berasal dari program
pembangunan regional (sebagai manifestasi dari azas desentralisasi), tapi juga
berasal dari program sektoral (sebagai perwujudan azas dekonsentrasi). Kedua
program itu dijalankan secara bersama-sama oleh pemerintah dalam rangka
menjembatani kesenjangan kemajuan pembangunan ekonomi antardaerah. Tetapi,
sampai saat ini program sektoral masih mendominasi program regional, sehingga
otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab belum terwujud
sepenuhnya.
Pertumbuhan yang tinggi tersebut belum sepenuhnya
dinikmati secara merata oleh lapisan masyarakat di daerah. Keragaman ekonomi
antardaerah tersebut antara lain disebabkan karena tingkat perbedaan yang cukup
berarti dalam laju pertumbuhan antardaerah, potensi antardaerah yang telah
dikembangkan, laju pertumbuhan penduduk, laju inflasi, penyerapan tenaga kerja
menurut sektor, kualitas sumberdaya manusia, fasilitas yang tersedia
antardaerah dan tingkat produktivitas tenaga kerja antar daerah.
Di samping itu ketimpangan antar wilayah terjadi
karena struktur ekonomi yang berbeda, dimana sektor dominan yang tumbuh cepat
dapat mendorong sektor-sektor lain yang pada gilirannya berpengaruh pada
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Pertumbuhan ekonmi yang tinggi akan
berpengaruh juga terhadap besarnya kontribusinya pada PDRB Provinsi.
Ketidak seimbangan dalam perekonomian antar daerah
menyangkut pola dan arah investasi serta prioritas alokasinya di antara
berbagai daerah dalam wilayah negara kesatuan atau provinsi, khususnya yang
menyangkut investasi dalam sumberdaya manusia dan investasi dalam prasarana
fisik.Kondisi ini pada gilirannya akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pendapatan perkapita antardaerah di suatu wilayah, sehingga
kecenderungan terjadinya perbedaan dan ketimpangan pada pola, laju pertumbuhan
dan pendapatan perkapita antar berbagai kawasan dalam suatu wilayah dalam satu
negara.
Sejak tahun 1999 pertumbuhan ekonomi mulai
meningkat, namun karena sebagian besar daerah kabupaten masih mengandalkan
pertumbuhan ekonominya pada sektor primer seperti sumberdaya alam dan migas,
menyebabkan tingkat kesenjangan pendapatan antardaerah juga meningkat. Hal ini
tergambar dari kontribusi sektor primer masih relatif besar untuk terutama
migas.
Keadaan ini sebenarnya jika tidak disikapi dengan
arif, akan berpengaruh pada struktur ekonomi Provinsi Jambi yang pada
gilirannya ketergantungan pada migas menjadi besar, dan kreativitas untuk
mendorong sektor lain dapat berkurang.
Dengan demikian jika dihubungkan dengan trend
meningkatnya tingkat kesenjangan pendapatan antardaerah memberikan indikasi
bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kesenjangan pendapatan antar
daerah dengan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi, untuk beberapa periode.
Karateristik wilayah yang sangat berbeda antara wilayah barat dan timur
membutuhkan penanganan yang berbeda pula, baik dalam pembangunan infrastruktur
maupun sumberdaya manusianya.
Dalam rangka mencapai sasaran pengurangan
ketimpangan pembangunan antarwilayah dimaksud diatas, diperlukan arah kebijakan
sebagai berikut:
1.
Mendorong
percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat
tumbuh sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya
dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis, tanpa
mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada
pertimbangan keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. Upaya ini
dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong
terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerjasama antarsektor,
antarpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha
dan investasi di daerah;
2.
Meningkatkan
keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan
terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara
lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah
lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan selain dengan pemberdayaan
masyarakat secara langsung melalui skema dana alokasi khusus, public service
obligation (PSO), universal service obligation (USO) dan keperintisan, perlu
pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah
cepat tumbuh dan strategis dalam satu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’;
3.
Mengembangkan
wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama
ini cenderung berorientasi inward looking menjadioutward looking, sehingga
kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan
perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan
selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach), juga
diperlukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach);
4.
Menyeimbangan
pertumbuhan pembangunan antarkota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil
secara hirarkis dalam suatu ‘sistem pembangunan perkotaan nasional.’ Oleh
karena itu perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward
and backward linkages) sejak tahap awal mata rantai industri, tahap proses
produksi antara, tahap akhir produksi (final process), sampai tahap konsumsi (final
demand) di masing-masing kota sesuai dengan hirarkinya. Hal ini perlu didukung,
antara lain, peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa
antarkota-kota tersebut, antara lain melalui penyelesaian dan peningkatan
pembangunan trans Kalimantan, trans Sulawesi;
5.
Meningkatkan
percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau
Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’
pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya, maupun dalam melayani kebutuhan
warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain,
memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan seseuai dengan tipologi kota
masing-masing;
6.
Mendorong
peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan
ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan
merupakan ‘backward linkages’ dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam
suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’;
7.
Mengendalikan
pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu ‘sistem wilayah
pembangunan metropolitan’ yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan,
serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan;
8.
Mengoperasionalisasikan
’Rencana Tata Ruang’ sesuai dengan hirarki perencanaan (RTRW-Nasional,
RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi, RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan
sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah; dan
9.
Merumuskan
sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan
hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan,
transparansi, dan demokrasi.
D. Program-Program Pembangunan
Program-program yang diperlukan untuk menerapkan
arah kebijakan pengurangan ketimpangan pembangunan tersebut diatas adalah
sebagai berikut:
1. Program Unggulan
a) Program Pengembangan Wilayah Strategis Dan Cepat
Tumbuh
Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing
kawasan dan produk-produk unggulan di pasar regional, nasional, dan global,
maka kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk mefasilitasi pemerintah daerah
adalah :
1.
Peningkatan
pengembangan kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh, khususnya kawasan
yang memiliki produk unggulan, melalui pemberian bantuan teknis dan
pendampingan kepada Pemerintah Daerah, pelaku usaha, pengrajin, petani dan
nelayan;
2.
Peningkatan
penyediaan prasarana dan sarana, seperti pembangunan sistem jaringan
perhubungan termasuk outlet-outlet pemasaran yang efisien dalam rangka
menghubungkan kawasan strategis dan cepat tumbuh dengan pusat-pusat perdagangan
nasional dan internasional, termasuk upaya untuk meningkatkan aksesibilitas
yang menghubungkan dengan wilayah-wilayah tertinggal;
3.
Pemberdayaan
kemampuan pemerintah daerah untuk membangun klaster-klaster industri,
agroindustri, yang berdaya saing di lokasi-lokasi strategis melalui pemberian
insentif yang kompetitif sehingga dapat menarik investor domestik maupun asing
untuk menanamkan modalnya.
4.
Penguatan
pemerintah daerah untuk meningkatkan, mengefektifkan dan memperluas kerjasama
pembangunan ekonomi regional yang saling menguntungkan antar Provinsi Jambi,
dengan Provinsi Riau serta dengan negara-negara tetangga, termasuk peningkatan
kerjasama ekonomi sub-regional yang selama ini sudah dirintis, yaitu IMS-GT;
5.
Peningkatan
kerja sama antar pemerintah daerah melalui sistem jejaring kerja (networking)
yang saling menguntungkan. Kerja sama ini sangat bermanfaat sebagai sarana
saling berbagi pengalaman (sharing of experiences), saling berbagi manfaat
(sharing of benefits), maupun saling berbagi dalam memikul tanggung jawab
pembiayaan pembangunan (sharing of burdens) terutama untuk pembangunan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana ekonomi yang menuntut skala ekonomi (scale of
economy) tertentu sehingga tidak efisien untuk dibangun di masing-masing
daerah;
6.
Pemberdayaan
pemerintah daerah dalam:
(a)
mengidentifikasi produk-produk unggulan;
(b)
pengembangan informasi pasar bagi hasil-hasil produk unggulan;
(b)
peningkatan pengetahuan dan kemampuan kewirausahaan pelaku ekonomi;
(c)
peningkatan akses petani dan pengusaha kecil menengah kepada sumber-sumber
permodalan;
(d)
perluasan jaringan informasi teknologi dan pemanfaatan riset dan teknologi yang
difokuskan untuk mendukung produk unggulan;
(e)pengembangan
kelembagaan pengelolaan pengembangan usaha;
b) Program Pengembangan Wilayah Tertinggal
1.
Peningkatan
keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, khususnya untuk
pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah tertinggal melalui,
antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian
prioritas dana alokasi khusus (DAK), skema pembiayaan lain baik kerjasama
dengan Pemerintah maupun swasta.
2.
Peningkatan
kapasitas (capacity building) terhadap masyarakat, aparatur pemerintah,
kelembagaan, dan keuangan daerah. Selain dari pada itu, upaya percepatan
pembangunan SDM sangat diperlukan melalui pengembangan sarana dan prasarana
sosial terutama bidang pendidikan dan kesehatan;
3.
Pemberdayaan
komunitas adat terpencil untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan
beradaptasi dengan kehidupan masyarakat yang lebih kompetitif;
4.
Pembentukan
pengelompokan permukiman untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyediaan pelayanan umum, terutama untuk wilayah-wilayah yang mempunyai
kepadatan penduduk rendah dan tersebar. Hal ini antara lain dapat dilaksanakan
melalui transmigrasi lokal, maupun antar regional;
5.
Peningkatan
akses petani, nelayan, transmigran dan pengusaha kecil menengah kepada
sumbersumber permodalan, khususnya dengan skema dana bergulir dan kredit mikro,
serta melalui upaya penjaminan kredit mikro oleh pemerintah kepada perbankan,
salah satu seperti Kredit KUPEM
6.
Peningkatan
keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah tertinggal dengan wilayah-wilayah cepat
tumbuh dan strategis, terutama pembangunan sistem jaringan transportasi yang
menghubungkan antar wilayah.
c. Program Pengelolaan Pertanahan
Program penataan ruang tidak akan berjalan secara
efektif tanpa disertai program pengelolaan pertanahan. Program pengelolaan
pertanahan ditujukan untuk:
1.
meningkatkan
kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui penegakan hukum
pertanahan yang adil dan transparan secara konsisten;
2.
memperkuat
kelembagaan pertanahan di provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka peningkatan
pelayanan kepada masyarakat;
3.
mengembangkan
sistem pengelolaan dan administrasi pertanahan yang transparan, terpadu,
efektif dan efisien dalam rangka peningkatan keadilan kepemilikan tanah oleh
masyarakat; dan
4.
melanjutkan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
secara berkelanjutan sesuai dengan RTRW dan dengan memperhatikan kepentingan
rakyat.
2.Program Penunjang
a. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
Program ini ditujukan untuk:
1.
menjaga
kesatuan wilayah Provinsi Jambi melalui penetapan hak yang dijamin oleh hukum
nasional;
2.
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta
keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan
provinsi tetangga.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk memfasilitasi pemerintah daerah adalah :
1.
Penguatan
pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat melalui:
(a)
peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi;
(b)
peningkatan kapasitas SDM;
(c)
pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan;
(d)
peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;
2.
Peningkatan
keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan
pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan
pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), dan skema
lainnya.
b. Program Pengembangan Kota-kota Kecil dan Menengah
Program ini bertujuan untuk :
1.
meningkatkan
kemampuan pembangunan dan produktivitas kota-kota kecil dan menengah;
2.
meningkatkan
fungsi eksternal kota-kota kecil dan menengah dalam suatu ’sistem wilayah
pengembangan ekonomi’ dan memantapkan pelayanan internal kota- kota tersebut.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk memfasilitasi pemerintah daerah adalah :
1.
Peningkatan
pertumbuhan industri kecil di kota-kota kecil, khususnya industri yang mengolah
hasil pertanian (agroindustry) dari wilayah-wilayah perdesaan, melalui:
(a)
pengembangan sentrasentra industri kecil dengan menggunakan teknologi tepat
guna;
(b)
peningkatan fungsi pasar lokal;
(c)
peningkatan prasarana dan sarana transportasi yang menghubungkan kota-kota
kecil dengan wilayah-wilayah perdesaan; .
2.
Penyiapan dan
pemantapan infrastruktur sosial dasar perkotaan di kota-kota kecil dan menengah
untuk dapat melayani fungsi internal dan eksternal kotanya, terutama
wilayah-wilayah yang masuk dalam satuan wilayah pengembangan ekonomi;
3.
Pemberdayaan
kemampuan:
(a)
profesionalisme aparatur dalam pengelolaan dan peningkatan produktivitas kota;
(b) kewirausahaan dan manajemen pengusaha kecil dan menengah dalam meningkatkan
kegiatan usaha, termasuk penerapan ‘good corporate governance’;
(c)
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan-kebijakan
publik perkotaan di kota-kota kecil dan menengah;
4.
Penyempurnaan
kelembagaan melalui reformasi dan restrukturisasi kelembagaan dengan menerapkan
prinsip-prinsip ‘good urban governance’ dalam pengelolaan perkotaan kota-kota
kecil dan menengah dalam rangka meningkatkan fungsi pelayanan publik;
5.
Pemberdayaan
kemampuan pemerintah kota dalam memobilisasi dana pembangunan melalui:
(a) peningkatan kemitraan
dengan swasta dan masyarakat;
(b)
pinjaman langsung dari bank komersial dan pemerintah provinsi dan pusat;
(c)
penerbitan obligasi daerah (municipal bond);
(d)
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi;
6.
Pemberdayaan
kemampuan pengusaha kecil dan menengah, melalui:
(a)
pemberian akses permodalan;
(b)
pengembangan informasi pasar bagi produk-produk lokal;
(c)
pemberian bantuan teknologi tepat guna.
c. Program Penataan Tata Ruang Wilayah
Rencana tata ruang merupakan landasan atau acuan
kebijakan spasial bagi pembangunan lintas sektor maupun wilayah agar
pemanfaatan ruang dapat sinergis dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP) telah menetapkan norma-normaspatial pemanfaatan ruang wilayah
daerah. RTRW Provinsi berisikan:
(a) pola pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya di Provinsi Jambi;
(b) struktur pengembangan jaringan sarana dan
prasarana wilayah, termasuk pusat- pusat permukiman. Oleh karena itu, sangat
penting untuk memanfaatkan RT/RW Provinsi Jambi sebagai acuan penataan ruang
daerah, yang kemudian dijabarkan kedalam RTRW dan Kabupaten/Kota.
1) Pengembangan Kawasan Khusus
a) Pengembangan kawasan cepat tumbuh, dan lokasi
strategis;
b) Pengembangan kawasan potensial/prospektif, yang
memiliki potensi kekayaan sumber daya alam;
c) Pengembangan kawasan terbelakang, yang kurang
memiliki sumber daya alam dan atau terisolasi, termasuk daerah perbatasan;
d) Pengembangan kawasan berbasis kelautan.
2) Kebijakan Pengembangan Kawasan Tumbuh Cepat dan
Strategis
a) Peningkatan dan diversifikasi produk unggulan;
b) Peningkatan arus perdagangan antara wilayah;
c) Peningkatan fungsi kota sedang dan kecil di luar
Jambi;
d) Peningkatan prasarana dan sarana ekonomi antar
daerah;
e) Peningkatan iklim investasi dan usaha;
f) Peningkatan Kerjasama dan usaha;
g) Peningkatan Kapasitas pemerintah antar daerah
dalam pengembangan ekonomi wilayah/lokal;
h) Pengendalian kualitas lingkungan kawasan
permukiman;
i) Peningkatan kualitas hidup masyarakat.
3) Kebijakan Pengembangan Kawasan Profektif
a) Peningkatan iklim investasi dan kemudahan
perizinan dalam pengembangan kawasan prospektif;
b) Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana
kawasan prospektif;
c) Peningkatan keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan bisnis di kawasan prospektif;
d) Peningkatan keterkaitan ekonomi lokal dan
global;
e) Peningkatan kapasitas pemerintah dalam pengembangan
ekonomi di kawasan prospektif.
4) Kebijakan Pengembangan Kawasan Tertinggal
(Termasuk Kawasan Terisolasi dan Perbatasan).
a) Peningkatan ketersediaan pelayanan prasarana dan
sarana di kawasan tertinggal dan perbatasan (sebagai beranda depan);
b) Peningkatan pengembangan agribisnis skala besar
di kawasan tertinggal dan perbatasan;
c) Peningkatan pengamanan pemanfaatan sumber daya
kehutanan dan kelautan di daerah perbatasan;
d) Peningkatan penyediaan pos pemeriksaan lintas
antara negera;
e) Peningkatan pengamanan garis perbatasan negara.
5) Kebijakan Pengembangan Kawasan Berbasis Kelautan
a) Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana
kawasan berbasis kelautan (maritim);
b) Peningkatan pengembangan industri berbasis
kelautan skala besar;
c) Pengembangan armada nelayan;
d) Peningkatan pemanfaatan dan pengembangan
pulau-pulau kecil;
e) Peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber daya
kelautan;
f) Peningkatan pengamanan pantai dan batas negara
di lautan bebas.
Kesimpulan
Permasalahan utama dari
ketertinggalan pembangunan di Indonesia adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan
yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah
kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara.
Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah
prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu
pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena
lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak
berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh
pelayanan dasar dari pemerintah.Untuk itu peranana kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah sangatlah penting dalam mendukung dan mengembangkan ekonomi yang
berada di daerah-daerah.Kebijakan tersebut harus dapat dilaksanakan oleh
seluruh elemen masyarakat guna mencapai suatu tujuan bersama yaitu memperbaiki
perekonomian dan pembangunan di negara Indonesia.Upaya pembangunan yang terencana dapat dilakukan untuk
mencapai tujuan pembangunan yang dilakukan. Lebih jauh lagi berarti perencanaan
yang tepat sesua dengan kondisi di suatu wilayah menjadi syarat mutlak
dilakukannya usaha pembangunan.
Perencanaan pembangunan memiliki ciri khusus yang
bersifat usaha pencapaian tujuan pembangunan tertentu. Adapun ciri dimaksud
antara lain:
1.
Perencanaan
yang isinya upaya-upaya untuk mencapai perkembangan ekonomi yang kuat dapat
tercermin dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi positif.
2.
Ada upaya
untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
3.
Berisi upaya
melakukan struktur perekonomian
4.
Mempunyai
tujuan meningkatkan kesempatan kerja.
5.
Adanya
pemerataan pembangunan.
Daftar Pustaka
Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar
Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. (edisi pertama). Yogyakarta:
BPFE-UGM.
Basri, Faisal. 1995. Profil dan
Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Hadi, S. 2001. Studi Dampak
Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan
Model Analisis Neraca Sosial Ekonomi). Disertasi Doktor, Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2001.
Israriskandar.2011.Kebijakan
Pemerintah dan Ketimpangan Pembangunan.diunduh dari situs (http//
israiskandar.wordpress.com/2011/03/12 kebijakan-pemerintah- dan - ketimpangan
pembangunan/) pada tanggal 12 Maret 2014 20.38
Kuncoro, Mudrajad.2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, masalah,dan kebijakan Edisi III.
Yogyakarta: (UPP) AMP YKPN.
Lay, Cornelis. 1993. Ketimpangan dan
Keterbelakangan di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan
Politik UGM.
Meier, Gerald M. dan Robert Baldwin. 1965. Pembangunan
Ekonomi, terjemahan, Sihotang.
Bhratara. Jakarta.
Mubyarto, 2002. Penanggulangan Kemiskinan di Jawa
Tengah. Jurnal Ekonomi Rayat. Artikel Tahun I No. 7, November 2002, Jakarta.
www.ekonomi rakyat.org.
Nurzaman, Siti Sutriah, 2002. Perencanaan Wilayah
di Indonesia – Pada Masa Sekitar Krisis. Bandung: ITB.
Priya, Kusuma. 2010.Pengembangan
Kawasan. Diunduh dari situs (http://kusumapriya.blogspot.com) pada 19 November
2011 pukul 20.30.
Sukirno, Sadono. 2006.Mikro Ekonomi
Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers
Santoso, Budi, “Dinamika dan Pertumbuhan Ekonomi rakyat dalam Perspektif Strategi Pembangunan”, dalam Daya Saing Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas, Diterbitkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Trisakti ke-31, Media Ekonomi Publising (MEP)
Santoso, Budi, “Dinamika dan Pertumbuhan Ekonomi rakyat dalam Perspektif Strategi Pembangunan”, dalam Daya Saing Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas, Diterbitkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Trisakti ke-31, Media Ekonomi Publising (MEP)
Smith
C Stephen, Todaro P. Michael. 2006.Pembangunan Ekonomi. Munandar, dkk,
penerjemah. Jakarta: PT Erlangga. Terjemahan dari:Economic Development.
Sumodiningrat, Gunawan, 2001. Responsi Pemerintah
Terhadap Kesenjangan Ekonomi – Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program
Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. Jakarta:
PerPod.
Tambunan, Tulus T.H., Perekonomian Indonesia,
Ghalia Indonesia, 1996.
Todaro,
Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Wardhana, Wisnu
Arya.2008.Dampak Pencemaran Lingkungan.Penerbit Andi:Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar