Penyesalan Masa Lalu
Perkenalkan,
namaku Delaney Aidan Alastair. Panggil aku Dela. Aku memiliki adik yang berbeda
dua tahun dariku. Dia Galvin Aidan Alastair. Aku bersekolah di Bogor
International School atau disingkat menjadi Boins. Hidupku saat ini berbeda
dari lima bulan yang lalu. Dahulu aku adalah anak yang mudah bergaul, ramah,
dan dibanggakan. Namun sekarang aku berubah. Aku hanya memiliki satu sahabat.
Dia Agatha Luna Reagan. Dia yang selalu ada di dekatku sejak kelas 1 SD.
Delaney
yang sekarang adalah Delaney yang bandel, dingin, dan cuek. Tidak peduli dengan
apa pun yang terjadi. Selalu bertengkar dengan ayahku dan anak laki-laki di
sekolah. Dan saat ini, aku sedang bertengkar dengan ayah karena aku pulang
larut malam di malam minggu akibat nongkrong di cafe Doodley dengan Luna. Ini
sering terjadi sejak bunda pergi. Ayahku semakin kacau dan melarangku ini itu.
“Dela! Siapa yang
mengajarkanmu seperti itu hah?! Apa yang kamu mau, Dela?” Teriak ayah.
Aku mendengus kasar. “Apa
yang saya mau? Kembalikan bunda saya!”
Kataku dengan penuh penekanan.
PLAK!
Satu
tamparan mendarat di pipi kananku. Perih. Itu yang kurasakan saat ditampar oleh
ayahku. Inilah keseharian kami saat ibunda sudah tiada lima bulan yang lalu.
Ini semua salah ayah! Tak seharusnya dia pergi disaat bunda sedang kacau karena
melihat ayahku sedang bersama wanita lain. Ayah pergi dari rumah dan pulang
saat bunda sudah tiada. Aku dan adikku hanya bisa menangis melihat bunda kami
yang berdarah disekitar kepala dan tubuh lainnya.
~Flash
back~
Aku dan Galvin sedang berpelukan satu
sama lain di kamarku karena mendengar kekacauan dari lantai bawah untuk yang
pertama kalinya. Sebelum semua ini terjadi, ayah dan bunda belum pernah
bertengkar hebat seperti saat ini. Suara beling pecah terdengar di telinga
kami. Galvin semakin mempererat pelukan kami akibat suara pecahan beling itu.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara mobil menjauh. Galvin melepas
pelukannya dan menatapku dengan mata sembab.
“Kak,
apa ayah dan bunda baik-baik saja?” Tanya nya. Sungguh, aku tak tega melihatnya
seperti ini.
“Semua
akan baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, Galvin. Kakak akan melindungimu. Ayo
kita ke lantai bawah.” Kataku.
Aku dan Galvin berjalan ke lantai bawah
dengan perlahan. Suasana di lantai bawah sangat berantakan. Beling tersebar
dimana-mana, ada darah yang ku tebak dari tubuh bunda. Tapi, dimana bunda? Aku
menyuruh Galvin berhati hati untuk membereskan beling-beling itu. Sementara
aku, mencari bunda. Sudah ku periksa kamar bunda dan ayah, kamar mandi, dapur,
dan halaman belakang. Namun hasilnya nihil.
Baru
saja aku menginjakkan kaki di teras, aku melihat pemandangan mengerikan.
Seorang wanita yang terkapar di jalanan dengan keadaan banyak darah. Wanita itu
adalah bunda. Aku terkejut dan langsung menghampiri bundaku.
“Bundaa..
Bangun bundaa..”
Aku
menangis memanggil nama bunda. Namun bunda tetap diam dan matanya tetap
terpejam erat. Galvin datang dan menangis dihadapanku.
“Kakak,
ayo bawa bunda ke rumah sakit sekarang.” Kata Galvin.
Aku langsung menuju ke garasi dan menyalakan
mobil milikku kemudian mengeluarkannya dari garasi. Galvin menggendong bunda
dan menaruh bunda di jok belakang. Galvin duduk di jok depan dan kami langsung
mengebut menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya disana, kami langsung membawa
bunda ke ruang UGD dibantu oleh para suster.
Kami terduduk di kursi tunggu sambil
memanjatkan doa kepada Allah agar bunda kami selamat. Beberapa menit kemudian,
seorang dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah menyesal. Aku dan Galvin
berdiri menatap sang dokter harap-harap cemas.
“Apa
kalian keluarga dari pasien ini?” Tanya sang dokter.
“Ya,
kami anaknya. Apakah bunda selamat?” Tanyaku.
Sang
dokter menggeleng menyesal. “Maaf, nak. Bunda kalian tidak bisa kami
selamatkan. Kami sudah berusaha semampu kami, namun bunda kalian tetap pergi.
Luka benturan di kepalanya sangat fatal dan mengakibatkan kematian ini. Sekali
lagi maaf, saya permisi dulu.” Kata sang dokter.
Aku
dan Galvin menangis. Bunda kami sudah pergi. Kami tak punya bunda lagi. Kami
berbalik dan ingin pulang ke rumah. Namun, langkah kami terhenti karena seorang
pria tegap berdiri tak jauh dari kami. Dia ayah kami. Ayah yang jahat,
meninggalkan bunda. Dan menyebabkan bunda pergi untuk selamanya.
“Dimana
bunda? Apa dia baik-baik saja?” Tanya ayah.
Aku
menatap ayah tajam penuh amarah. Begitu juga dengan Galvin. Aku menggenggam
tangan Galvin agar kami tidak bermain fisik di rumah sakit.
“Setelah
ayah berbuat semua kekacauan ini, ayah bilang bunda baik-baik saja? Apakah ayah
sadar, yang menyebabkan bunda mati adalah ayah! Darimana saja ayah? Baru datang
setelah bunda pergi? Apakah anda ayah yang baik? Bukan. Anda bukan ayah yang
baik. Anda bukan ayah kami. Anda penjahat. Silahkan urus bunda saya. Kami
permisi dulu.” Kataku.
“Maafkan
ayah. Ayah khilaf, nak. Tolong maafkan ayah. Ayah tak akan ulangi perbuatan
ayah lagi.” Kata ayah sambil menangis dihadapan kami dan memegang pundak kami.
Kami
menepis tangan ayah. “Percuma saja. Anda tidak akan pernah bisa mengembalikan
bunda kami. Anda tidak akan pernah bisa membuat bunda kami hidup lagi.” Kata
Galvin.
Aku
dan Galvin pergi meninggalkan ayah yang sedang kacau. Kami tak menghiraukan
teriakan ayah yang memanggil nama bunda.
~Flash
Back~
Aku
melangkahkan kaki ku ke lantai atas menuju kamarku. Saat sudah sampai kamarku,
aku merebahkan tubuhku di kasur yang empuk dan menatap langit-langit kamar yang
dipenuhi oleh sticker glow in the dark
berbentuk planet dan bintang. Aku memejamkan mataku sejenak sebelum suara
ketukan yang membuatku membuka mataku lagi.
“Kak, Galvin boleh masuk?”
Tanya Galvin.
“Ya.” Jawabku singkat.
Galvin masuk ke dalam kamarku
dan duduk di pinggir kasur menatapku iba.
“Kakak dimarahin lagi? Kakak
gak capek apa buat masalah terus? Kakak udah kelas 2 SMA. Lupain masa lalu
kakak. Bunda udah tenang dan gak mau kakak berlarut-larut dalam masalah yang
lalu.”
“Terkadang, kamu benar. Tapi
kematian bunda adalah luka terdalam bagi kakak. Kakak gak bisa lupain masalah
itu dek.” Kataku.
“Oke, terserah kakak mau
gimana. Aku gak bisa ngelarang kakak terus. Tapi kakak harus inget, kakak masih
punya Galvin dan ayah. Jangan dendam terlalu lama.” Kata Galvin.
“Iya, Galvin. Makasih udah
nasehatin kakak. Kakak berasa jadi adek disini.” Kataku sambil terkekeh.
“Oh iya. Kak, besok kita
akan punya tetangga baru. Dia pindahan dari Jerman kata ayah. Dan katanya dia
bakal satu SMA sama kakak.” Kata Galvin sambil tersenyum.
“Dia tetangga baru kita?
Dimana rumahnya? Dan.. Apa?! Dia satu SMA sama kakak?! Oh tidak! Dia pasti akan
duduk disebelah kakak.” Kataku.
“Yaa.. Rumah dia tepat
diseberang kita. Jadi kalau kakak ke balkon, kakak bisa liat rumah dia. Aku
harap kakak bisa berubah jika berteman dengannya. Toh apa salahnya? Dari
namanya saja sudah ketahuan kalau dia anak yang baik.” Jelas Galvin.
“Baiklah. Kakak mau tidur.
Selamat malam.” Kataku lalu mencium keningnya.
“Selamat malam juga kakak.”
Katanya kemudian berjalan keluar kamarku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Kakak! Bangun! Ayo kita
olahraga!” Teriak Galvin sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
“Iyaa.. Sebentar dek. Kakak
udah bangun nih. Kakak siap-siap dulu.” Kataku sambil merapihkan tempat tidur
dan bersiap-siap untuk berolahraga.
Inilah
rutinitasku dan Galvin setiap hari minggu. Kami akan berolahraga dan membeli
makanan untuk sarapan dirumah. Ya.. walaupun sejujurnya aku enggan sarapan
dirumah, namun apa boleh buat kalau Galvin yang memaksa? Dia tak akan pernah
mau membantuku lagi jika aku tak mau sarapan bersama di rumah.
Setelah
semua beres, kami turun ke lantai satu dan bergegas pergi sebelum matahari
muncul. Baru saja keluar gerbang, kami melihat ada laki-laki berbadan tegap dan
bertubuh six pack muncul dari dalam
rumah seberang. Dia memakai sepatunya lalu merenggangkan otot-otot nya. Dia
tampan!
“Kak! Ayo! Eh ada tetangga
baru. Nama lo siapa kak?” Tanya Galvin. Ku akui dia cepat sekali berbaur dengan
anak baru.
“Gue Darian Argento Hayden.
Panggil Gue Darian atau Rian aja. Jangan pake ‘kak’. Dan kalian?” Kata
laki-laki itu yang kukenal dengan Rian.
“Gue Galvin Aidan Alastair,
dan ini kakak gue Delaney Aidan Alastair. Lo bisa manggil gue Galvin dan kakak
gue Dela.” Jelas Galvin. Aku hanya tersenyum kecil. “Oiya, lo mau olahraga
bareng kita gak? Kita mau jogging trus ke cafe buat beli sarapan.”
“Hmm.. Boleh deh. Biar gue
ada temen juga.” Kata Rian.
Akhirnya aku, Galvin dan Darian
jogging bersama. Galvin dan Darian bersisian sedangkan aku dibelakang mereka.
Aku terlihat seperti jones. Kasihan
sekali aku.. Tapi biarkanlah. Aku benci jika ada yang mengganggu rutinitasku. Aku
memasang earphone dan menyetel lagu
Worth It yang dinyanyikan oleh Fifth Harmony. Saat sedang asik mendengarkan
lagu, seseorang menepuk bahuku lumayan kencang. Aku menengok ke arah kanan dan
melihat Rian si pemilik tangan yang menepuk bahuku lumayan keras.
“Kenapa lo diem aja? Bete?”
Tanya nya. Aku hanya menggeleng. “Btw,
lo sekolah dimana?”
Oh Ya Allah.. Ini orang kepo sekali. “Boins.” Jawabku singkat.
Kulihat matanya berbinar. Senyumnya muncul akibat rasa senangnya.
“Wah! Satu sekolah ama gue
dong! Akhirnya, gue ada temennya. Kalo gitu, besok pagi lo berangkat sama gue
aja.” Katanya.
“Gak. Makasih. Gue bareng
Galvin”
“Yaelah.. Kan gue gatau
Boins dimana.. Lo bareng gue aja ya?”
“Lo aja yang bareng gue.
Tapi, cuma sekali.”
“Yaudah. Gapapa deh. Yang
penting bisa sama lo.” Katanya sambil tersenyum.
Ya Allah.. Kukira dia cool
dan cuek. Ternyata ramah dan berisik. Gimana jadinya aku bisa tenang kalau dia
jadi teman sebangkuku? Sepertinya aku harus mendengarkan lagu agar dia tak
menggangguku.
Kami
sampai di cafe Doodley untuk membeli sarapan. Saat kami masuk, aroma kopi dan
makanan lezat menggodaku. Aku sudah tidak sabar untuk sampai di rumah dan
memakan makanan Doodley. Makanan disini sangat enak. Selan makanannya enak,
disainnya membuat semua orang merasa nyaman. Ada satu rak berisi buku-buku yang
asik. Disini juga ada Wifi yang kencang. Makanya aku dan Luna betah untuk
berlama lama disini.
“Selamat datang mba Dela dan
mas Galvin. Mau pesan apa? Dibawa pulang?” Tanya salah satu pelayan cafe yang
bernama Rani. Aku, Galvin dan Luna sudah mengenal satu sama lain dengan
pegawainya. Karena kami sering datang ke cafe ini.
“Seperti biasa ya mba.. Saya
beli 4 porsi. Dibawa pulang.” Kata Galvin.
Kami duduk di tempat yang
biasa kami duduki. Meja pojok jendela. Dari sini terlihat pemandangan yang
lumayan indah.
“Kalian udah biasa mesen
disini ya?” Tanya Rian.
“Gausah banyak tanya.”
Kataku.
“Oke.. By the way, lo suka main ps atau basket gak Gal?”
“Gue suka keduanya. Tapi
lebih suka basket. Kenapa? Lo mau battle
sama gue, Yan?”
“Pengennya sih battle sama Dela juga. Tapi ntar dia
gamau lagi.”
“Lawan Galvin dulu. Baru
gue.” Kataku.
“Tuh, kak Dela mau. Tapi
kita harus one by one.” Kata Galvin.
Kulihat Darian ingin
membalas perkataan Galvin, namun di interupsi oleh mba Rani yang membawa
pesanan kami. Galvin membayar nya dengan uang lima puluh ribu.
“Ini mba Dela, mas Galvin
pesanannya. Terima kasih. Selamat datang kembali.” Kata mba Rani sopan.
“Makasih mba.” Kata Galvin
sambil tersenyum.
Kami
pun keluar dari cafe Doodley dan berjalan ke rumah. Jam sudah menunjukkan pukul
06.55. Kami harus segera sampai di rumah sebelum ayah bangun dan sarapan
bersama. Setelah sampai di depan rumah, Darian berpamitan dengan kami kemudian
masuk ke rumah masing-masing. Setelah melepas sepatu bersama kaus kaki, kami melangkah
ke kamar masing-masing dan berganti baju.
Setelah
semua beres, kami menyiapkan sarapan dan menunggu ayah di meja makan. Tepat jam
dinding yang berada di dekat meja makan berdenting menandakan tepat jam 7 pagi,
ayah keluar dari kamar dengan menggunakan piyama. Ayah duduk di kursi paling
ujung, diantara aku dan Galvin. Sedangkan aku, duduk berhadapan dengan Galvin.
“Pagi, Del, Gal.” Sapa ayah.
“Pagi” Jawab kami secara
bersamaan.
“Oiya, tetangga depan sudah
sampai? Kalian sudah berkenalan dengan anaknya?”
“Sudah, yah. Tadi kami juga
olahraga bersama. Dia anak yang asik dan ramah, Yah! Namanya Darian Argento
Hayden. Panggilannya Darian atau Rian. Dia satu sekolah sama kak Dela loh!”
Kata Galvin.
“Oh ya? Bagus dong. Jadi
Dela ada temennya. Besok pagi kamu berangkat sama dia ya Del?” Tanya Ayah.
Aku hanya bergumam sebagai
jawabannya. Setelah itu, terjadi keheningan yang cukup lama sampai akhirnya aku
selesai makan dan pergi ke kamar untuk mengecek sosmed di handphoneku
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tok! Tok! Tok!
“Masuk” Kataku.
“Dela, ayah ingin berbicara
denganmu” Kata ayah.
“Apa yang ingin anda
bicarakan?” Kataku sambil berbalik menghadap ayah.
“Dela, tolong kamu jangan
seperti ini terus. Apa yang kamu inginkan tidak bisa kita raih lagi. Apa yang
sudah berlalu biarkan berlalu, Dela. Ayah minta maaf. Ayah menyesal, ayah kacau
kehilangan seseorang yang aya cintai. Begitupun kamu, Dela.” Jelas ayah.
Jujur saja, apa yang ayah
bicarakan memang benar. Namun, ego ku terlalu tinggi untuk memaafkannya.
“Lalu apa yang anda mau?”
Tanyaku.
“Ayah hanya ingin keluarga
kita utuh seperti sebelumnya. Walaupun bundamu telah tiada, tetapi dia tetap
berada bersama kita.”
“Mengapa anda baru menyesali
perbuatan anda selama ini?”
“Dela, apakah kamu tidak
sadar kalau selama ini kita semua menyesali perbuatan masing-masing dan
terpuruk dalam kematian bundamu?” Tanya ayah dengan wajah memelas.
“Aku tak peduli.” Jawabku
angkuh.
“Dela, berdamailah dengan
masa lalu. Mau sampai kapan keluarga kita hancur? Apa kamu tidak kasihan dengan
bunda yang bisa melihat kita semua saat ini?”
“Biarkan bunda melihat semua
penyesalan anda. Sekarang, silahkan anda keluar dari kamar saya.”
Ayah keluar dari kamarku
dengan kepala menunduk. Beberapa detik kemudian, Galvin masuk dengan muka
memerah menahan amarah.
“Kakak! Apa yang kakak
lakukan kepada ayah?! Selama ini ayah selalu peduli kepada kakak! Tapi apa yang
kakak lakukan? Membuatnya semakin terpuruk dari sebelumnya!” Kata Galvin.
“Kamu tidak boleh ikut
campur.” Kataku sinis.
“Jelas aku harus ikut
campur! Selama ini aku yang berada diantara kalian. Mencoba mengerti satu sama
lain. Kakak seharusnya mengerti!”
“Mengerti kamu bilang? Apa
kamu tidak marah atas kelakuan dia hah?! Dia selalu bilang menyesal kepada
kakak. Tapi dia juga selalu menyiksa kakak! Apa itu yang namanya menyesal
hah?!”
“Tapi bukan begitu caranya,
kakak! Apa kakak gak bisa ngerelain bunda hah?! Bunda udah tenang disana!” Kata
Galvin penuh amarah. Detik berikutnya Galvin menghela nafas dan mengusap-usap
mukanya frustasi. “Maaf Galvin kelepasan. Galvin cuma mau kakak damai sama
ayah. Galvin juga mau yang terbaik buat kakak. Galvin tau kakak pengen punya
keluarga yang lengkap. Tapi semua udah terjadi. Gak bisa kita kembali lagi ke
masa lalu, kak.”
“Kakak memang ingin itu.
Tapi itu bukan jalan yang terbaik bagi kakak. Ada saatnya kakak memaafkan ayah,
tapi bukan sekarang waktunya. Kakak pergi dulu.” Kataku sambil memakai jaket
kulit berwarna hitam.
Aku keluar dari kamar dan
menghela nafas pelan. Apa yang dikatakan Galvin memang benar. Tapi bukan
berarti aku bisa memaafkan ayah secepat itu. Aku butuh waktu untuk
memaafkannya.
Aku bergegas keluar dari
rumah dan menelfon Luna. Dering pertama dan kedua tak ada jawaban. Pada dering
ke tiga, telfon diangkat.
“Halo, Lun.”
“Halo.
Kenapa Del?”
“Ke cafe biasa. Ada yang mau
gue omongin.” Aku menutup telfon dan bergegas pergi ke cafe.
~To Be Continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar