Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah melalui ARBITRASE
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu
ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah
mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi
perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.Untuk menyelesaikan sengketa ada
beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan
dan arbitrase.Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:“Lembaga
Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa.”Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan
bahwa:”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di
bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan
untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat
diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase
merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan merekaLembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga
arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999
yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase.
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam
kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kemudian
hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada
forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga
Pengadilan atau ada juga yang melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu
arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam
klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati
untuk dipergunakan apabila di kemudian hari terjadi sengketa di antara mereka
(choice of law). Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian
sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Adapun ketentuan-ketentuan
mengenai syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata,
maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan
kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi
bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Di
Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai
sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara
lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah
persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional)
yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari’ah,
dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan
sengketa bisnis non Islam.
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki
lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul
akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak yang dilaksanakannya. Dalam
kaitan ini, Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat dunia juga telah
memiliki lembaga arbitrase dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang
disingkat dengan BANI. Keberadaan BANI ini diprakarsai oleh kalangan bisnis
nasional yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang
didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Adapun tujuan didirikannya Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang
adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul dan berkaitan dengan
perdagangan dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat
internasional. Di samping itu, keberadaan BANI di samping berfungsi
menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh
para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal
opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Oleh karena BANI dibentuk untuk
kepentingan masyarakat Indonesia, maka BANI harus tunduk kepada hukum
Indonesia. Selama ini praktek arbitrase banyak diatur dalam HIR,
khususnya pasal 377 HIR yang menyebutkan bahwa arbitrase dibenarkan dalam
penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak dengan tetap berpedoman
sebagaimana tersebut dalam buku ketiga Rv, dengan hal ini dapat diketahui bahwa
secara yuridis formal hanya Rv yang diakui sebagai hukum positif arbitrase, dan
tertutup kemungkinan untuk memilih dan mempergunakan institusi atau peraturan
yang terdapat dalam Rv. Namun keberadaan BANI telah menerobos sifat
tertutup Rv tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan lain, diantaranya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang meratifikasi ICSID dan KEPRES Nomor 34
Tahun 1981 yang meratifikasi New York Convention 1059, sehingga ketentuan yang
menentukan Rv sebagai satu-satunya aturan hukum yang mengatur arbitrase sudah
dipakai lagi. Dengan demikian sejak berdirinya BANI dibolehkan mendirikan
institusi arbitrase permanent yang dilengkapi oleh aturan-aturan yang
dibuat oleh pemerintah dan DPR atau hak opsi mempergunakan aturan Rv atau
aturan lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ADR yang lain, tujuan didirikan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang
adil dan tepat dalam sengketa-sengketa perdata yang berkaitan dengan
perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Selain dari itu, keberadaan BANI di samping menyelesaikan
sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat
mengenai suatu persoalan. Meskipun ada perbedaan yang cukup signifikan
dengan tugas-tugas pengadilan, tetapi proses ajudikasi BANI tetap berpedoman
kepada peraturan prosedur secara khusus. Secara garis besar prosedur
pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :
1) Prosedur arbitrase dimulai dengan
didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase dan didaftar dalam
register perkara masuk.
2) Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang
mengatakan bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, maka
klausula tersebut dianggap telah mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI
segera mengeluarkan perintah untuk menyampaikan salinan dari surat permohonan
kepada si termohon, disertai perintah untuk menanggapi permohonan
tersebut dan memberi jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari.
3) Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter
tunggal yang ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa
sengketa antara para pihak atas nama BANI dan menyelesaikan serta memutus
sengketa.
4) Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan
kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu
yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya
perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang
kuasa dengan surat kuasa khusus.
5) Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan
tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa.
6) Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan
masing-masing pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap
perlu untuk menguatkannya.
7) Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat
mencabut permohonannya.
8) Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan
sudah cukup, maka ketua majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan
menetapkan hari sidang selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.
9) Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan
arbitrase ditetapkan dengan peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri
yang bersengketa. Meskipun sudah ada putusan arbitrase yang telah diputus oleh
BANI, kebanyakan para pihak tidak puas terhadap putusan tersebut. Hal ini dapat
diketahui bahwa sebagian besar perkara yang telah diputus oleh arbiter
BANI masih tetap diajukan kepada Pengadilan secara litigasi.
2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Perkembangan bisnis umat Islam berdasar syari’ah
semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat
menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan
perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan merupakan suatu
kebutuhan yang sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai
berdirinya BAMUI dan mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Oktober 1993. Adapun
tujuan dibentuk BAMUI adalah pertama : memberikan penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima
permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya
suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk
menjadi arbiter tunggal atau arbiter majelis diantaranya adalah beragama Islam
yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya arbiter harus
mengupayakan perdamaian semaksimal mungkin dan apabila usaha ini berhasil, maka
arbiter membuat akta perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati
dan memenuhi perdamaian tersebut. Jika perdamaian tidak berhasil, maka arbiter
akan meneruskan pemeriksaannya, dengan cara para pihak membuktikan
dalil-dalil gugatannya, mengajukan saksi-saksi atau mendengar pendapat para
ahli dan sebelum mengajukan keterangannya ia harus disumpah terlebih dahulu.
Azas pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan azas ini tidak bersifat
mutlak atau permanen, akan tetapi dapat dikesampingkan jika atas persetujuan
kedua belah pihak setuju sidang dilaksanakan terbuka untuk umum. Kepentingan
pemeriksaan secara tertutup ini adalah menghindari publisitas demi menjaga nama
baik perusahaan atau bisnis masing-masing para pihak.
Putusan BAMUI bersifat final dan mengikat bagi para
pihak yang bersengketa dan wajib mentaati keputusan tersebut, para pihak harus
segera mentaati dan memenuhi pelaksanaannya. Apabila ada para pihak yang tidak
melaksanakan itu secara suka rela, maka putusan itu dijalankan menurut
ketentuan yang diatur dalam pasal 637 dan 639 Rv, yakni Pengadilan Negeri
memiliki peranan yang penting dalam memberikan exequatur bagi putusan arbitrase.
Oleh karena itu, BAMUI harus menyesuaikan diri dengan tata hukum yang ada,
khususnya jangkauan kewenangannya, karena sengketa yang diputus oleh BAMUI itu
bukanlah perkara yang didalamnya termuat campur tangan pemerintah atau bukan
masalah-masalah yang berhubungan dengan Wakaf dan Hibah sebagaimana tersebut
dalam 616 Rv, yang pada perkara ini ada Pengadilan yang mengurusnya.
Mengingat bahwa tidak semua masalah dapat dieksekusi oleh Pengadilan,
maka BAMUI membatasi kewenangannya hanya pada penyelesaian sengketa yang timbul
dalam hubungannya dengan perdagangan, industri, keuangan dan jasa yang dikelola
secara Islami. Supaya putusan arbitrase BAMUI ini dapat diterima dengan baik
oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka arbiter harus dapat menjatuhkan putusan
yang adil dan tepat bagi pihak yang bersengketa.
3.Badan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS )
Badan Arbitrase syariah Nasional ( BASYARANAS )
sesuai dengan pedoman dasar yang di tetapkan oleh MUI adalah lembaga Hakam yang
bebas otonom dan independent tidak boleh di campuri kekuasaan oleh pihak-pihak
manapun.BASYARNAS adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN ( Dewan
Syariah Nasional ),LPPO ( Lembaga Pengkajian pengawasan Obat-obatan dan makanan
),YDDP ( Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagaiberikut
:
1.UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase danAlternatif
Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-UndangNo, 30 Tahun 1999 adalah
cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yangdipilih
oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusanmengenai sengketa
tertentu.
2.SK MUI (Majelis Ulama Indonesia) SK. Dewan
Pimpinan MUI
No.Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang BadanArbitrase Syariah Nasional. Badan Arbitrase Syariah Nasional(BASYARNAS)
adalah lembaga hakam (arbitrase syariah)
satu-satunyadi Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketamuamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan,industri,
jasa dan lain-lain.
3.Fatwa DSNMUI Semua fatwa Dewan Syariah Nasional MajelisUlama Indonesia (DSNMUI) perihal hubungan muamalah ( perdata)senantiasadiakhiri
dengan ketentuan : "Jika salah satu pihak tidakmenunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantarakeduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui BadanArbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melaluimusyawarah".Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai peraturanprosedur yang memuat
ketentuan-ketentuan antara lain : permohonan untukmengadakan arbitrase,
penetapan arbiter, acara pemeriksaan,
perdamaian,pembuktian dan saksisaksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilanputusan, perbaikan putusan, pembatalan putusan, pendaftaran putusan,pelaksanaan
putusan (eksekusi),
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, sampailah pada
beberapa kesimpulan sesbagai berikut :
1. Penyelesaian
sengketa Ekonomi syariah seharusnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
akad.Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syariah.
2. Penyelesaian
Sengketa Ekonomi syariah yang dilakukan di Pengadilan Negeri dalam hal
sengketa Ekonomi syariah hendaknya hanya merupakan hal-hal yang bersifat
darurat apabila penyelesaian sengketa tidak bisa dilakukan dengan prinsip
syariah.
3. Lembaga Arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.Dengan
adanya arbitrase yang berprinsip syariah merupakan pilihan tepat dalam
penyelesaian sengketa dalam Ekonomi syariah.
Sumber :
http://serbaserbiilmuhukum.blogspot.com/2012/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi-syariah.html
Suyud Margono,ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan
dan aspek Hukum ,Ghlia Indonesia ,Jakarta,2000
Mughits,Abdul ,Kompilasi hokum syariah dalam
al-Mawarid,edisi,XVIII,2008
Ramdhon Naning,Penyelesaian Sengketa dalam Islam (
Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional dan kewenangan Pengadilan agama dalam
menyelesaikan sengketa Ekonomi syariah ,dalam Journal Varia
advokat,VI,2008